Agropolitan merupakan kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan agribisnis yang melayani, mendorong dan memacu pembangunan pertanian kawasan dan wilayah-wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa sentra produksi pertanian dan didukung dengan berbagai infrastruktur yang mendukung kegiatan pertanian dan industri pengolahnya.
Pengembangan kawasan agropolitan dirancang untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agrobisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digunakan dan
difasilitasi oleh pemerintah.
Kawasan pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antar kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah produsen sebagai pusat kegiatan pertanian (yang tertinggal). Wilayah desa dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima bahan berlebih, sehingga untuk mengatasi kesenjangan ini perlu adanya strategi pengembangan wilayah agropolitan.
Pembangunan sektor pertanian sekarang adalah sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, dapat memberi dampak-dampak negatif terhadap pembangunan nasional secara keseluruhannya, yaitu terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok antara lain mengenai tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat terjadi secara berulang-ulang.
Akibat kemiskinan dan kurangnya lapangan kerja maka masyarakat desa secara nasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan.
Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan dalam masyarakat kawasan kota yang sudah terlalu padat, sehingga dapat menimbulkan pencemaran, pemukiman kumuh, sanitasi buruk, menurunnya kesehatan yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan.
Dalam Undang-undang No. 24/1992 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa kawasan desa adalah kawasan fungsional dengan ini kegiatan utama desa adalah sektor pertanian. Oleh sebab itu, strategi pembangunan harus mampu menjawab tantangan pembangunan perdesaan.
Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi pemukiman di desa yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk infrastruktur yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah desa dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan khususnya terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Disamping itu juga perlu diberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil menengah di wilayah desa yang bertujuan untuk mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.
Dalam kaitannya dengan proses produksi pangan dan bahan mentah, kawasan produsen adalah konsumen bagi produk sarana produksi pertanian, produk investasi dan jasa produksi dan sekaligus sebagai pemasok bahan mentah untuk industri pengolah atau penghasil produk akhir. Cabang kegiatan ekonomi lain di depan (sektor hilir) dan dibelakangnya (sektor hulu), sektor pertanian produsen seharusnya terikat erat dalam apa yang disebut sebagai sistem agribisnis. Dalam perspektif agribisnis, sektor hulu seharusnya terdiri dari perusahaan jasa penelitian, perusahaan benih dan pemuliaan, industri pakan, mesin pertanian, bahan pengendali hama dan penyakit, industri pupuk, lembaga penyewaan mesin dan alat-alat pertanian, jasa pergudangan, perusahaan bangunan pertanian, asuransi, agen periklanan, mass-media pertanian, serta jasa konsultasi ilmu pertanian.
Melihat keadaan di atas perlu diteliti seberapa jauh peranan agropolitan terhadap analisis usaha tani cabai merah di Kabupaten Magelang.
Periode tahun 2004 sampai 2007 memperlihatkan bahwa produksi tanaman hortikultura khususnya sayuran mencapai produksi 0,47% dan 9,06 ribu ton di tahun 2004 menjadi 9,10 ribu ton di tahun 2005, kemudian
meningkat lagi menjadi 9,53 ribu ton di tahun 2006 (4,69%) dan 9,94 ribu ton (4,34%). Peningkatan angka-angka produksi tersebut menunjukkan bahwa komoditas hortikultura dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan tinggi bagi sektor pertanian (Deptan, 2007).
Cabai merah merupakan salah satu komoditi hortikultura yang sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Di Kabupaten Magelang cabai merah merupakan komoditi unggulan dan harganya mengalami naik turun.
Walaupun harganya mengalami perubahan tetapi permintaan akan cabai semakin meningkat terutama untuk perusahaan-perusahaan makanan.
Daftar Bacaan
Sutawi, 2002. Manajemen Agribisnis. Bayu Medu, UMM Press.
Suwandi, 2005. Agropolitan. PT. Duta Karya Swasta. Jakarta.
Tohir, KA. 1991. Seutas Pengetahuan Usahatani Indonesia. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Trubus. 2003. Menguak Pasar Cabai Paprika. Trubus no. 399. Jakarta.
Winarno, F.G. 1991. Tanaman Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
W. David Downey, Steven P. Erickson, 2004. Manajemen Agribisnis. Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Walaupun harganya mengalami perubahan tetapi permintaan akan cabai semakin meningkat terutama untuk perusahaan-perusahaan makanan.
Daftar Bacaan
Sutawi, 2002. Manajemen Agribisnis. Bayu Medu, UMM Press.
Suwandi, 2005. Agropolitan. PT. Duta Karya Swasta. Jakarta.
Tohir, KA. 1991. Seutas Pengetahuan Usahatani Indonesia. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Trubus. 2003. Menguak Pasar Cabai Paprika. Trubus no. 399. Jakarta.
Winarno, F.G. 1991. Tanaman Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
W. David Downey, Steven P. Erickson, 2004. Manajemen Agribisnis. Penerbit
Erlangga, Jakarta.
No comments:
Post a Comment