Dari berbagai definisi pembangunan yang ada, dapat ditarik benang merah bahwa pembangunan merupakan upaya untuk mengubah sesuatu keadaan menjadi sesuatu keadaan yang direncanakan. Kata kuncinya dengan demikian adalah perubahan yang diinginkan atau yang direncanakan. Perubahan yang diinginkan dan yang direncanakan tersebut sering pula disebut sebagai tujuan pembangunan.
Tujuan pembangunan pada dasarnya dianggap baik, pantas dan atau seharusnya ada, menurut penyelenggara pembangunan. Dengan kata lain, tujuan pembangunan adalah positif dari sudut pandang penyelenggaranya. Akan tetapi, dari sudut pandang orang lain, pembangunan tersebut tidak selalu berbuah hal-hal yang positif bagi mereka. Hal ini berarti, pembangunan dapat menimbulkan konsekunesi negatif bagi suatu komunitas atau bagi suatu segmen dari komunitas.
Dampak negatif pebangunan tersebut tidak selalu disadari dan atau tidak selalu tampak kepermukaan. Makalah singkat ini akan membicarakan cara menganalisis dampak sosial pembangunan dan setelah itu akan dibicarakan beberapa dampak pembangunan yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam setiap kajian dampak pembangunan.
Cara Pandang Menganalisis Dampak
Perhatikan
Dampak Laten
Dampak dalam Bahasa Inggris disebut impact yang bersinonim dengan effect (akibat) atau consequences (akibat). Dalam
Bahasa Indonesia dampak berarti pengaruh kuat yang mendatangkan akibat. Berdampak
mengandung arti berpengaruh. Jadi, ketika berbicara dampak pembangunan kita
berbicara akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pembangunan. Dampak tersebut
terdiri dari:
- Dampak positif. Dampak yang dianggap baik oleh penyelenggara pembangunan maupun oleh orang lain.
- Dampak negatif. Dampak yang dianggap tidak baik oleh penyelenggara pembangunan maupun oleh orang lain.
- Dampak yang disadari (intended consequences). Dampak yang direncanakan oleh penyelenggara pembangunan. Dampak ini adalah dampak yang diketahui dan disadari akan terjadi. Dalam kepustakaan sosiologi, hal seperti itu disebut sebagai fungsi manifes. Dampak yang disadari pada dasarnya tergolong dampak positif paling kurang menurut pandangan penyeleanggara pembangunan. Dampak seperti ini biasanya mudah diketahui karena disadari keberadaanya atau sering telah ditulis oleh penyelanggara pembangunan dalam proposal pembangunannya. Melakukan wawancara dengan pembuat proposal atau membaca proposal itu sendiri cukup untuk mengetahui hal tersebut.
- Dampak yang tidak disadari (unintended consequences). Dampak yang tidak direncanakan oleh penyelenggara pembangunan. Oleh sebab itu, dampak ini adalah dampak yang tidak diketahui dan tidak disadari. Hal ini dalam kepustakaan sosiologi disebut sebagai fungsi laten. Dampak seperti ini biasanya sulit diketahui karena tidak disadari atau tidak pernah dapat ditemukan dalam proposal pembangunan oleh penyelanggara pembangunan. Dampak yang disadari sering tergolong dampak negaif.
Dari penjelasan berbagai jenis dampak di atas, analisis dampak sosial
pembangunan harus meliputi berbagai jenis dampak tersebut. Kajian tidak hanya
terpusat pada dampak positif, tetapi yang lebih penting mengungkapakan dampak
negatif. Kajian tidak hanya fokus
pada fungsi manifes, melainkan juga meliputi fungsi laten. Malah, seharusnya
fungsi laten inilah yang menjadi tekanan kejian dampak. Fokus pada fungsi laten
berarti konsentrasi pada sesuatu yang tidak tampak, tidak diharapkan dan tidak
disadari.
Untuk dapat mengungkan dampak
laten, peneliti harus memiliki ketajaman perspektif dan teori. Dengan menggunakan
sudut pandang Disiplin Sosiologi, studi
dampak sosial pembangunan semestinya menerapkan sudut pandang apa yang disebut
sebagai kesadaran sosiologis yang berarti kesadaran bahwa ada realitas sosial
dibalik dari realitas sosial. Analis sosial, oleh sebab itu, di dorong untuk
melihat tembus atau milihat dibalik, dibalik penampakan dan dibalik yang
tertulis dalam dokumen-dokumen resmi.
Dampak Pastilah Dampak tentang Sesuatu
Kemudian, pembicaraan perihal
dampak pembangunan pastilah pembicaraan mengenai dampaknya terhadap sesuatu. Dalam
hal ini, dampak sosial pembangunan berarti dampak pembangunan terhadap manusia
dalam jumlah yang banyak, bukan satu atau dua orang. Dengan kata lain, dampak
sosial pembangunan mengandung arti dampak pembangunan terhadap kehidupan sosial
anggota sebuah komunitas atau masyarakat.
Perhatikan Kelompok Marjinal
Dampak sosial pembangunan
tidak sama dalam masyarakat, disebabkan oleh anggota-anggota masyarakat berada
dalam keadaan yang tidak sama secara sosial dan ekonomi. Ketidaksamaan tersebut
menyebabkan perbedaan kemampuan anggota masyarakat untuk memecahkan masalah
yang ditimbulkan oleh dampak atau beradaptasi dengan dampak. Anggota masyarakat yang berada dalam situasi
yang lemah secara ekonomi dan sosial biasanya kelompok yang lebih merasakan
dampak karena merekalah yang memiliki berbagai rintangan untuk beradaptasi. Kelompok
yang lemah tersebut biasanya disebut sebagai kelompok marjinal. Mereka biasaya adalah lapisan masyarakat
miskin, perempuan, anak-anak dan lansia. Kelompok kaya biasanya memiliki
kemampuan untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Oleh sebab itu, setiap kajian dampak perlu
mempertimbangkan keragaman masyarakat terkena dampak dengan memberikan
perhatian lebih kepada kelompok
marjinal.
Pelanggaran Hak-Hak Azazi
Manusia
Akhir-akhir ini banyak hal telah ditetapkan
sebagai hak azazi manusia. Penetapan ini teleh tertuang dalam berbagai dokumen
resmi, baik nasional maupun internasional.
Berbagai conoth dapat disajikan: Yang paling penting untuk analisis
dampak lingkungan adalah hak-hak individu, kelompok orang dan komunitas atas
lingkungan dan atas sumber daya alam.
Akibatnya, kajian dampak lingkungan mestilah menggunakan apa yang
disebut sebagai rights frameworks.
Berikut ini akan disajikan hak-hak manusia yang harus dipenuhi untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit agar produksinya dapat sesuai dengan Prinsip
dan Keriteria Roundtable on Sustaniable Palm
Oil (RSPO), sebuah badan non-pemerntah yang didirikan oleh LSM dan
Perusahaan-perusahaan perkebunan sawit dan bermarkas di Kuala Lumpur.
Prinsip
dan Keriteria Minyak Sawit Berkelanjutan menekankan kuat terhadap penghargaan
atas hak-hak manusia terhadap sumber
daya alam dalam kegiatan produksi minyak sawit. Ditekankan bahwa tidak
boleh penanaman pohon sawit di atas tanah milik masyarakat adat tanpa
persetujuan tanpa paksaan dan berdasarkan informasi sebelum pengolahan
lahan dilakukan. Prinsip ini
disebut dengan prinsip FPIC (Free Prior
and Informed Consent). Kemudian ditekankan bahwa harus ada kompensasi yang
fair bagi masyarakat adat atas diambilnya tanah yang mereka punya hak. RSPO
mengakui keberadaan hak ulayat yang berdasarkan hukum adat setempat
(lihat juga Colchester, dkk. 2006, hal. 03).
Berdasarkan Prinsip dan Kriteri RSPO
di atas, adalah pelanggaran hak-hak azazi masyarakat adat atau komunitas
tempatan apabila hak-hak adat tidak diakui apabila pada wilayah suatu wilayah
hokum adatnya ada dan berlaku.
Dampak Sosial Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar di
Sumatera Barat dan Riau: Sebuah Ilustrasi
Berikut ini akan disajikan laporan penelitian yang telah saya lakukan untuk memberikan ilustrasi bagaimana pembangunan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan dan merugikan sekelompok penduduk sekitar lokasi pelaksanaan pembangunan. Diharapkan, dengan mempelajari kasus tersebut, orang-orang yang melaksanakan studi AMDAL terinspirasi untuk memfokuskan telaahannya pada kemungkinan dampak yang ditimbulkan seperti penduduk lokal merasa haknya terampas, mereka merasa diperlakukan tidak adil dan aspirasi untuk mendapatkan manfaat atas pembangunan di daerah mereka. Semua itu menyebakan protes-protes oleh anggota komunitas tempatan yang pada akhirnya merupakan ancaman dari penduduk lokal atas kesinambungan pembangunan.
Seperti yang terjadi di banyak provinsi di Provinsi Sumatera Barat dan Riau pengembangan perkebunan kelapa sawit, yang telah dilakukan semenjak akhir 1980an, telah mengakibatkan dampak negatif, yaitu timbulkan konflik yang banyak antara penduduk tempatan dengan perusahaan perekebunan kelapa sawit. Di kedua provinsi tersebut penduduk nagari dan desa aktif melawan bisnis dan juga negara dan perlawanan tersebut memuncak ketika reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1998. Konflik terjadi di berbagai kabupaten. Hasil penelitian yang telah saya lakukan menunjukkan bahwa perlawanan tersebut berlanjut sampai akhir tahun 2008 karena banyak yang belum terselesaikan.
Jumlah konflik agraria yang terjadi di Sumatera Barat jauh lebih tinggi dari yang tercatat dalam berbagai sumber. Umpamanya, data-base KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) hanya memuat 12 kasus konflik agraria di areal perkebunan besar di Sumatera Barat sampai tahun 2001, padahal di Kabupaten Pasaman Barat saja terdapat sebanyak 16 buah perkebunan besar yang berkonflik dengan berbagai kelompok komunitas lokal. Ada sebanyak 55 buah perusahaan perkebunan besar di seluruh Sumatera Barat yang mengontrol kira-kira 119.229 ha tanah yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas nagari. Semua perusahaan tersebut juga berkonflik dengan berbagai kelompok komunitas nagari. Afrizal (2005, 2006 dan 2007) menemukan bahwa sebuah perkebunan kelapa sawit berskala besar berkonflik sampai dengan tujuh kelompok dalam komunitas nagari. Berdasarkan temuan tersebut dapat diperkirakan jumlah kasus konflik antara komunitas nagari dengan perusahaan perkebunan besar di Sumatera Barat mencapai lebih dari 300 kasus semenjak tahun 1998 sampai tahun 2008.
Disamping itu, ditemukan pula beberapa konflik antara penduduk tempatan dengan perusahaan non perkebunan kelapa sawit. Pertama adalah konflik perkebunan karet. Konflik terjadi antara PT. PN III/VI sebagai perusahaan inti dengan penduduk Nagari Gunung Malintang, Kabupaten 50 Kota dan antara PT. Purnakarya dan Korem 032 Wirabraja dengan komunitas Kapala Hilalang, Kabupaten Padang Pariaman. Disamping persoalan kebun plasma, konflik antara penduduk tempatan dengan perusahaan perkebunan tersebut berkenaan dengan penguasaan tanah oleh kedua perusahaan (untuk mengetahui lebih deteil konflik ini baca Afrizal 2007). Disamping itu, penduduk lokal juga beraksi melawan perusahaan yang usahanya berkaitan dengan penambangan seperti batu kapur untuk produksi semen dan batu bara. Semuanya juga semarak mulai pertangahan tahun 1998 dan berkenaan dengan penguasaan tanah oleh para perusahaan (Afrizal 2005 dan 2007, Hafil 2008).
Perlawanan komunitas nagari tersebut terjadi tersebar di berbagai kabupaten, tetapi lebih banyak terjadi di kabupaten-kabupaten dengan jumlah perusahaan perkebunan yang banyak, seperti Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam. Hal itu menunjukan bahwa konflik agraria semacam ini terjadi berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
Di Provinsi Riau, provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas di Indoensia dengan luas 1,5 juta hektar (lih. Colchester et al. 2006, p. 24), jumlah konflik perkebunan kelapa sawit yang terjadi antara komunitas lokal dengan perusahaan kelapa sawit berskala besar banyak. WALHI Riau mencatat, sedikitnya 400 konflik di Provinsi Riau merupakan konflik antara masyarakat adat atau suku asli dengan berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan tanaman indusri (Kompas, 5 April 2007). Kira-kira 50% dari konflik tersebut adalah konflik perkebunan kelapa sawit berskala besar. Hal ini dapat diketahui dari semenjak tahun 1998 sebanyak 60 dari 160 buah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar (atau 37,5%) berkonflik dengan penduduk tempatan. Oleh sebab itu, jumlah konflik semacam itu kemungkinan besar lebih besar dari yang dilaporkan oleh Tim LITBANG Data FKPMR (2007). Tim mengatakan bahwa konflik perkebunan hanya terjadi 66 kasus antara 2003-2007. Kalkulasi Tim hanya berdasarkan laporan kasus kepada LSM tempatan dan surat kabar. Dari analisis suurat-suurat pengaduan dan wawancara mendalam dengan berbagai informan diketahui bahwa banyak kasus konflik perkebunan sawit tidak dilaporkan kepada LSM an tidak pula dciliput oleh media. Karena berbagai perusahaan berkonflik dengan tiga sampai empat kelompok, diperkirakan konflik yang terjadi antara penduduk tempatan dengan 60 perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar sebanyak lebih dari 200 kasus di Provinsi Riau.
Seperti yang terjadi di banyak provinsi di Provinsi Sumatera Barat dan Riau pengembangan perkebunan kelapa sawit, yang telah dilakukan semenjak akhir 1980an, telah mengakibatkan dampak negatif, yaitu timbulkan konflik yang banyak antara penduduk tempatan dengan perusahaan perekebunan kelapa sawit. Di kedua provinsi tersebut penduduk nagari dan desa aktif melawan bisnis dan juga negara dan perlawanan tersebut memuncak ketika reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1998. Konflik terjadi di berbagai kabupaten. Hasil penelitian yang telah saya lakukan menunjukkan bahwa perlawanan tersebut berlanjut sampai akhir tahun 2008 karena banyak yang belum terselesaikan.
Jumlah konflik agraria yang terjadi di Sumatera Barat jauh lebih tinggi dari yang tercatat dalam berbagai sumber. Umpamanya, data-base KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) hanya memuat 12 kasus konflik agraria di areal perkebunan besar di Sumatera Barat sampai tahun 2001, padahal di Kabupaten Pasaman Barat saja terdapat sebanyak 16 buah perkebunan besar yang berkonflik dengan berbagai kelompok komunitas lokal. Ada sebanyak 55 buah perusahaan perkebunan besar di seluruh Sumatera Barat yang mengontrol kira-kira 119.229 ha tanah yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas nagari. Semua perusahaan tersebut juga berkonflik dengan berbagai kelompok komunitas nagari. Afrizal (2005, 2006 dan 2007) menemukan bahwa sebuah perkebunan kelapa sawit berskala besar berkonflik sampai dengan tujuh kelompok dalam komunitas nagari. Berdasarkan temuan tersebut dapat diperkirakan jumlah kasus konflik antara komunitas nagari dengan perusahaan perkebunan besar di Sumatera Barat mencapai lebih dari 300 kasus semenjak tahun 1998 sampai tahun 2008.
Disamping itu, ditemukan pula beberapa konflik antara penduduk tempatan dengan perusahaan non perkebunan kelapa sawit. Pertama adalah konflik perkebunan karet. Konflik terjadi antara PT. PN III/VI sebagai perusahaan inti dengan penduduk Nagari Gunung Malintang, Kabupaten 50 Kota dan antara PT. Purnakarya dan Korem 032 Wirabraja dengan komunitas Kapala Hilalang, Kabupaten Padang Pariaman. Disamping persoalan kebun plasma, konflik antara penduduk tempatan dengan perusahaan perkebunan tersebut berkenaan dengan penguasaan tanah oleh kedua perusahaan (untuk mengetahui lebih deteil konflik ini baca Afrizal 2007). Disamping itu, penduduk lokal juga beraksi melawan perusahaan yang usahanya berkaitan dengan penambangan seperti batu kapur untuk produksi semen dan batu bara. Semuanya juga semarak mulai pertangahan tahun 1998 dan berkenaan dengan penguasaan tanah oleh para perusahaan (Afrizal 2005 dan 2007, Hafil 2008).
Perlawanan komunitas nagari tersebut terjadi tersebar di berbagai kabupaten, tetapi lebih banyak terjadi di kabupaten-kabupaten dengan jumlah perusahaan perkebunan yang banyak, seperti Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam. Hal itu menunjukan bahwa konflik agraria semacam ini terjadi berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
Di Provinsi Riau, provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas di Indoensia dengan luas 1,5 juta hektar (lih. Colchester et al. 2006, p. 24), jumlah konflik perkebunan kelapa sawit yang terjadi antara komunitas lokal dengan perusahaan kelapa sawit berskala besar banyak. WALHI Riau mencatat, sedikitnya 400 konflik di Provinsi Riau merupakan konflik antara masyarakat adat atau suku asli dengan berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan tanaman indusri (Kompas, 5 April 2007). Kira-kira 50% dari konflik tersebut adalah konflik perkebunan kelapa sawit berskala besar. Hal ini dapat diketahui dari semenjak tahun 1998 sebanyak 60 dari 160 buah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar (atau 37,5%) berkonflik dengan penduduk tempatan. Oleh sebab itu, jumlah konflik semacam itu kemungkinan besar lebih besar dari yang dilaporkan oleh Tim LITBANG Data FKPMR (2007). Tim mengatakan bahwa konflik perkebunan hanya terjadi 66 kasus antara 2003-2007. Kalkulasi Tim hanya berdasarkan laporan kasus kepada LSM tempatan dan surat kabar. Dari analisis suurat-suurat pengaduan dan wawancara mendalam dengan berbagai informan diketahui bahwa banyak kasus konflik perkebunan sawit tidak dilaporkan kepada LSM an tidak pula dciliput oleh media. Karena berbagai perusahaan berkonflik dengan tiga sampai empat kelompok, diperkirakan konflik yang terjadi antara penduduk tempatan dengan 60 perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar sebanyak lebih dari 200 kasus di Provinsi Riau.
Sementara itu, berdasarkan sebaran lokasi
wilayah geografisnya, konflik menyebar hampir di semua kabupaten/kota di
Provinsi Riau. Tim Data Litbang FKPMR dalam studinya melapoirkan bahwa
kabupaten yang paling banyak dijumpai konflik pertanahan adalah Indragiri Hulu,
yakni sebesar 22,7 persen. Lalu, secara berurutan disusul oleh Rokan Hilir
sebanyak 18,2 persen, Siak sebanyak 12,1 persen, kampar sebanyak 10,6 persen,
Bengkalis dan Pekanbaru masing-masing 4,5 persen, Pelalawan sebanyak 3 persen,
dan dua kasus konflik lainnya tidak didapatkan data lokasinya.
Konflik perkebunan antara
penduduk tempatan dengan bisnis yang terjadi baik di Provinsi Sumatera Barat
maupun Riau telah berkembang menjadi konflik yang terbuka dan penuh kekerasan.
Transformasi konflik tersebut akibat dari cara yang dilakukan oleh
masing-masing pihak untuk merespon aksi dari pihak lain guna menyelesaikan
persoalan. Pada awalnya, tokoh-tokoh masyarakat lokal melakukan upaya lobi
dengan surat-menyurat dan tatap muka untuk memperjuangkan kepentingannya,
kepentingan kelompok-kelompok dalam komunitasnya dan kepentingan komunitas
nagarinya secara keseluruhan. Akan tetapi, karena upaya lobi ini tidak
berhasil, lalu mereka melakukan upaya mobilisasi massa dengan cara melakukan
demonstrasi. Pada rentang waktu 1998-2004 terjadi banyak demonstrasi seperti
ini di berbagai kabupaten. Kemudian, sebagian yang lain melakukan
aksi-aksi memblokade aktivitas
perusahaan, merusak harta milik perusahaan dan malah ada yang memanen buah
sawit dan menyadap karet yang dikelola oleh perusahaan.
Aksi-aksi kolektif penduduk lokal ini ada yang ditanggapi dengan cara kekerasan
oleh polisi seperti, intimidasi dan pemukulan.Dari penjelasan di atas, kekerasan dilakukan baik oleh penduduk nagari maupun
oleh aparatur negara tentunya juga oleh pihak perusahaan karena kehadiran
polisi dalam konflik tersebut tentunya berkaitan erat dengan cara yang dipilih
oleh perusahaan untuk menyelesaikan persoalan.
Di kedua provinsi, konflik
semacam itu sebagian besar terus berlanjut sampai akhir 2008. Ada beberapa
kasus yang telah diselesaikan dengan mekanisme resolusi konflik di luar
peradilan dengan prinsip menang-menang, akan tetapi banyak kasus belum
diselesaikan (status quo).
Di Provinsi Sumatera Barat, konflik yang telah diselesaikan pada umumnya
konflik berkenaan dengan pembayaran atas digunakan tanah ulayat oleh perusahaan
dan pencaplokan lahan oleh perusahaan. Sementara, di Provinsi Riau konflik
berkenaan dengan isu pencaplokan lahan oleh perusahaan pada umumnya belum
diselelsaikan.
Penyebab Dampak: Konflik
Manefistasi dari Cara Pemerintah Menjalankan Pembangunan Ekonomi
Perlawanan
komunitas nagari yang banyak terjadi semenjak pertengahan 1998 dan berlanjut
sampai hari ini dengan tujuan-tujuan yang telah ditunjukkan sebelumnya berkaitan
erat dengan cara pemerintah menjalankan pembangunan ekonomi.
Sebagian
konflik yang terjadi terutama yang bertujuan untuk merebut tanah bekas hak erfpacht dan HGU berhubungan erat dengan
cara pemerintah kolonial Belanda membangun ekonomi. Sebagai respon terhadap
tuntutan kapitalis di negerinya sendiri untuk mendapatkan tanah bagi perluasan
bisnis para kapitalis setempat, pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan
hukum agraria pada tahun 1870 untuk memungkinkannya memberikan hak sewa jangka
panjang (erfpacht) kepada para
investor asing (Benda-Backmann 1979, hal. 210-211 dan Harsono 1999, hal.
37-42). Ayat satu undang-undang agraria
tersebut berdampak besar terhadap masyarakat Minangkabau, karena undang-undang
tersebut memuat Deklarasi Pemilikan yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak
bisa dibuktikan kepemilikannya adalah tanah negara”. Deklarasi Pemilikan ini diimplementasikan
pada tahun 1874 di Minangkabau (Amran 1985, hal. 267 dan Benda-Beckmann dan
Benda-Beckmann 2001, hal. 27). Undang-undang tersebut mengingkari hukum adat
Minangkabau perihal pemilikan tanah karena Deklarasi Pemilikan itu tidak
mengakui bukti kepemilikan tanah menurut hukum adat Minangkabau (Harsono 1999,
hal. 41-42). Bahkan Gubernur Sumatra Barat (pada saat itu pantai barat), J.
Ballot, berkeberatan dengan implementasi undang-undang tersebut di Sumatera
Barat dengan alasan undang-undang itu bertentangan dengan prinsip dasar hukum
adat Minangkabau (Kahn 1993, hal. 187-208), disebabkan oleh, menurut hukum adat
Minangkabau, tidak ada tanah dalam wilayah suatu nagari yang tidak bertuan, baik
tanah yang digarap maupun yang tidak adalah milik komunitas sebuah nagari (Pak
1986, hal. 480; Dt. Perpatih Nan Tuo 1999, hal. 8; Durin 2000 dan Sjahmunir
2000). Implementasi Deklarasi Pemilikan diatas berarti semua tanah kecuali yang
digarap oleh penduduk sebuah nagari diklaim oleh pemerintah kolonial Belanda
sebagai milik negara, dan, akibatnya, dari sudut pandang hukum pemerintah
kolonial Belanda sah untuk memberikan hak pakai jangka panjang atas tanah
tersebut kepada para investor asing (Benda-Beckmann 1979, hal. 211 dan Kahn
1993, hal. 205-211). Implikasinya, pemerintah kolonial mengeluarkan hak pakai
jangka panjang (desebut erfpacht)
kepada investor-investor perkebunan di Provinsi Sumatera Barat.
Kemudian,
pemerintah Indonesia merdeka meneruskan kebijakan agraria kolonial tersebut
dengan pada tahun 1960 mengeluarkan Undang-undang Agraria baru (UUPA No. 5/1960). Berbeda dari Deklarasi Pemilikan, UUPA 1960
mengakui keberadaan tanah ulayat dan sekaligus mengakui penggunaan hukum adat
untuk pengaturan dan pemanfaatan tanah
ulayat tersebut (Sumarjono 2000, hal. 55), akan tetapi, dipihak lain, UUPA
melegitimasi negaraisasi tanah ulayat yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Menurut pemerintah Indonesia, tanah yang telah dikuasai oleh seseorang
dengan hak yang telah diberikan oleh pemerintah kolonial, seperti hak erfpacht, ditetapkan sebagai tanah
Negara. Akibatnya,
tanah tersebut pengontrolannya berada di tangan pemerintah. Pemerintah kemudian
mengalokasikan tanah tersebut bagi investor perkebunan berikutnya dengan
memberikan Hak Guna Usaha dan tanah seperti ini dinyatakan sebagai tanah milik
negara.
Konflik
agraria yang lain terutama yang tujuannya mempertahankan tanah dan menuntut
kompensasi berkaitan erat dengan aparatur negara sebagai pihak pengalokasi dan
sekaligus pengorganisasi penyerahan tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh
komunitas nagari. Di Indonesia, menurut undang-undang, negara berkuasa penuh
berkenaan dengan pengalokasian tanah. Pasal 18 UUPA/1960 menyatakan:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti rugi
kerugian yang layak dan menuruti cara-cara yang diatur oleh undang-undang.
Badan yang hanya boleh mencabut hak-hak atas tanah
tersebut adalah negara. Hal ini juga mengandung arti, negara menjadi aktor yang
bukan saja mengatur orang, melainkan juga mengatur tanah di Indonesia. Dia
bukan hanya mengatur tanah miliknya sendiri, melainkan juga mengatur tanah yang
dimiliki oleh rakyatnya. Inilah yang
disebut sebagai negara menjadi penguasa tertinggi atas tanah di Indonesia.
Sebagai
wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan oleh UUPA 1960 itu,
negara di Indonesia menempatkan dirinya sebagai agen pembebasan tanah, sebagai
agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan
tanah. Pemerintah setempat (diketuai
oleh gubernur atau bupati/wali kota dan terdiri dari pejabat
dari berbagai instansi) menjadi panitia yang mengorganisasi penyerahan
tanah dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri
(Parlindungan 1993, hal. 43-45). Untuk mengetahui bagaimana panitia pembebasan
tanah itu bekerja di lapangan baca Stanley (1994) dan Lucas (1997). Kemudian
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Pembangunan Umum menegaskan lagi bahwa
panitia pembebasan tanah yang dibentuk oleh pemerintah yang mengorganisasi
pembebasan tanah milik rakyat untuk kepentingan umum. Panitia tersebut dibentuk
di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten dan kota. Angggota panitia
pembebasan tanah tersebut terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah setempat yang
diketuai oleh kepala daerah. Artinya, komunitas setempat tidak langsung bernegosiasi dengan investor
atau dengan sebuah instansi pemerintah yang membutuhkan tanah mereka, melainkan
melalui tim pembebasan tanah yang dibentuk oleh pemerintah setempat.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia pemerintah yang mengalokasikan
lahan hutan, laut, sungai dan tanah untuk ditambang kepada para investor dimana
saja di republik ini. Sebagai akibatnya, makin luas tanah yang telah diserahkan
oleh negara kepada pebisnis, dan sebagai konsekuensinya tentunya aktor yang
paling bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif dari semua itu adalah
negara itu sendiri.
Di
sektor perkebunan saja, proyek pemerintah mengalokasikan tanah untuk
perkembangan perkebunan besar kelapa sawit telah menyebabkan sampai tahun 2004
seluas 6.059.441 hektar tanah di kawasan perdesaan telah dikontrol oleh
perusahaan besar perkebunan kelapa sawit di berbagai tempat di Indonesia.
Kira-kira 19.840.000 hektar tanah lagi direncanakan akan dialokasikan oleh
pemerintah provinsi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit berskala besar
tersebut (Sawit Watch 2004, hal. 5).
Dalam melaksanakan
tugasnya mengalokasikan tanah ulayat milik kaum, suku atau nagari bagi para
investor, aparatur negara tidak melindungi kepentingan-kepentingan para pemilik
tanah ulayat tersebut dengan baik. Pertama, pengembangan dan pengkonversian
(penyerahan kepada petani plasma) kebun plasma sebagai kompensasi penyerahan
tanah ulayat untuk pengembangan perkebunan berskala besar milik perusahaan
swasta maupun negara tidak dikelola
secara baik seperti dalam hal luas area plasma, pengembangan plasma itu
sendiri, penerima plasma, dan penyerahan plasma. Kedua, hak-hak pemilik tanah
ulayat atas tanah mereka tidak diindentifikasi secara baik seperti, ada
tidaknya lahan garapan dan tanaman pemilik dan hukum adat tentang pelepasan
tanah ulayat. Ketiga, pemerintah tidak berusaha untuk mendapatkan persetujuan
berdasarkan informasi (informed consent) dari pemilik tanah ulayat. Pada
dasarnya, pemilik tanah ulayat tidak diberitahu konsekuensi hukum dari penyerahan
tanah ulayat mereka kepada pemerintah kabupaten/kota untuk kemudian diserahkan
kepada pebisnis.
Daftar Bacaan
Afrizal, 2007, The Nagari
Community, Business and the State: The Origin and the Process of Contemporary
Agrarian Protests In West Sumatera, Forest People Programmed an Sawit
Watch, Bogor.
_____,2006, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes
Agraria dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, Universitas Andalas Press,
Padang.
_____, 2005a, “the Nagari Community, Business and the State: The
Origin and the Process of Contemporary Agrarian Protests In West Sumatera”, Indonesia, Ph.D Thesis at the Asia Centre of
Faculty of Social
Sciences Flinders
University.
______,2005b, Resolusi
Konflik Tanah Ulayat, Sigai Jurnal
Sosiologi, Vol. VI. No. 9.
______,2005c, Anggota Kaum
Caniago Melawan BPN, Sigai Jurnal
Sosiologi, Vol. VI. No. 10.
______, 2005d, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Dari
Pengertian Sampai Penulisan Laporan, Labor Sosiologi FISIP Unand, Padang.
______,2002, Hukum Agraria,
Konflik dan Resolusi Konflik Tanah Ulayat di Indonesia: Acuan Khusus terhadap
Sumatera Barat, Working paper Sosiologi
Andalas, Vol. VI, No. 6.
Bachriadi, D., 2001, ‘Situasi Perkebunan
di Indonesia Kontemporer’, in Prinsip-Prinsip
Reforma Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, eds, Tim Lapera, Lepera Pustaka Utama, Yogyakarta.
__________, 2002, ‘Warisan Kolonial Yang
Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah Di Tapos dan Badega, Jawa
Barat’, in Berebut Tanah: Beberapa Kajian
Berspektif Kampus dan Kampung, eds, Anu Lounela and R. Yanto Zakaria,
Insist Press, Yogyakarta.
Colchester,
M., dkk., 2006, Ghosts on our Own Land:
Indonesian Oil Palm Smallholders and the Roundtable on Sustainable Palm Oil,
Bogor, Sawit Watch dan Forest People Programme.
Bachriadi, D., and Lucas, A., 2001, Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan
Cimacan, KPG, Jakarta.
Dt. Perpatih Nan Tuo, N.,
1999, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat
Minangkabau, Yayasan Sako Batuah LKAAM Sumatera Barat, Padang.
Harsono, B., 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Vol. 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan,
Jakarta.
Kahn J., S., 1993, Constituting
the Minangkabau: Peasants, Culture and Modernity in Colonial Indonesia, Berg, Oxford.
Kasri, A., 2000, “Dinamika Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah dan Pembangunan Sumatera Barat”, Makalah Dipresentasikan
dalam seminar Reaktualisasi Adat Basandadi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
Bukittinggi 22-23 Januari.
Sjahmunir, 2000, “Tanah Ulayat dan Masalah Pembangunan di Sumatera
Barat”, Makalah Dipresentasikan dalam seminar Reaktualisasi Adat Basandadi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Bukittinggi 22-23 Januari.
No comments:
Post a Comment