Pendahaluan
1.
Pada
pembukaan UUD 1945 Amandemen, - yang mengatakan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, …..””, -
telah memberikan visi yang jelas bagi penyelenggara pemerintahan. Penyelenggara pemerintahan
berkomitmen anti korupsi dan beradilan sosial.
2.
Pada
realita, Indonesia masih masuk
ke dalam peringkat atas sebagai negara yang korup di Asia dan juga dunia
sebagaimana hasil survei yang dilakukan oleh Transparency Internasional (TI),
yang datanya dipublikaskan setiap tahun (Tabel
2). Menurut versi lembaga tersebut, dari surveinya di lebih dari 100
negara, Indonesia pernah menyandang sebagai negara terkorup di Asia dan ketiga
terkorup di seluruh dunia (1995) dan pada tahun 2011 sekarang ini berada pada
peringkat 100 dari 182 negara yang disurvei.
Pengertian Korupsi
3.
Apakah
korupsi itu? Banyak definisi yang dikemukakan berkaitan dengan terminologi
“korupsi” (corruption) tersebut. Yao (1997: 157) mendefinisikan korupsi
sebagai “the obtaining of goods and
service by the misuse of political power”.
Collier (2004: 1) menyatakan korupsi sebaga aktivitas “related to procurement, nepotism, delivery
of public services”. Sedang Bardhan (1997: 1321) mendefinisikan korupsi
sebagai “the use of public office for
private gains, where an official (the agent) entrusted with carrying out a task
by the public (the principal) engages in some sort of malfeasance for private
enrichment which is difficult to monitor for the principal”.
4.
Sangat
banyak pengertian mengenai korupsi tersebut. Namun substansi yang mengemuka
hampir sama, yakni berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berakibat pada
kerugian bagi kepentingan publik. Kasus-kasus yang berkaitan dengan
penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat luas ini sangat gampang dan
transparan dilihat di tanah air. Berurusan dengan birokrasi di tanah air, mulai
dari level bawah untuk hal-hal yang sangat kecil, sampai ke jenjang birokrasi yang
tinggi, hampir selalu menemui hambatan berkait dengan penyalahgunaan kekuasaan
yang ujung-ujungnya harus mengeluarkan dana untuk birokrasi tersebut.
Korupsi
dan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi
5.
Jika dilihat
secara empirik, praktik korupsi banyak terjadi di negara-negara yang secara
ekonomi relatif terbelakang. Misalnya, dalam tahun 2011negara yang masuk
peringkat korupsi paling tinggi menurut TI adalahBurundi,Equatorial,
Guinea,Venezuela,Haiti,Iraq,Sudan,Turkmenistan,Uzbekistan, Afghanistan,Myanmar,Korea (North),Somalia. Untuk Indonesia,
peringkat korupsi mengalami sedikit perubahan ke tingkat peringkat korupsi
tinggi,
yaitu 3,0 bersama dengan Argentina, Benin,BurkinaFaso,Djibouti,Gabon, Madagascar,Sao Tome and
Principe, Mexico, Malawi,Suriname.Tanzania. Sedang negara yang tingkat korupsinya rendah adalah
negara-negara kaya dan maju seperti New Zealand,Denmark,Finland,Sweden,Singapore,Norway. Kondisi
seperti ini sejalan dengan temuan banyak studi yang menyatakan bahwa semakin
suatu negara mengalami kemajuan, maka semakin berkurang tingkat korupsinya. Suatu
studi yang melihat hubungan antara Human
Develompent Index (HDI) dengan Corruption
Perception Index (CPI) ditemukan
suatu negara yang HDI nya tinggi tingka kuripsinya rendah, dan sebaliknya
6.
Jika
dilihat per negara atau skala nasional terdapat hubungan antara tingkat
kemiskinan dengan korupsi, maka dalam skala individual hal itu tidak berlaku.
Jika dilihat praktik korupsi di Indonesia
ternyata mereka yang menerima suap, melakukan mark up, atau menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi
tersebut umumnya oknum-oknum yang secara
ekonomi sudah berkecukupan. Dari level pejabat tinggi negara, direktur
Bank, anggota legislatif, kepala daerah,
dan sebagainya. Sementara itu, korupsi
kecilkecilan juga dilakukan oleh sementara pegawai negeri level bawah sebagai
akibat penghasilan yang tidak memadai.
7.
Walaupun
tindak korupsi tersebut sudah sangat “telanjang” namun masih sangat terbatas kasus
yang sampai ke pengadilan, lebih-lebih sampai memenjarakan pelakunya. Namun
setelah dibentuk Komisi Anti Korupsi (KPK) ada kecenderungan semakin banyak
kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan, yang melibatkan para pejabat tinggi
negara. Namun demikian dapat diduga masih lebih banyak yang belum ketahuan
ketimbang yang sampai berurusan dengan pihak berwajib. Inilah fenomena aneh dan
unik dalam perkorupsian di tanah air. Fenomena pertama, adalah fenomena gunung es (iceberg). Korupsi yang muncul ke permukaan dan menjadi diskusi
publik sangat sedikit, namun yang tidak terlihat jauh lebih besar.Fenomena yang
kedua adalah fenomena tuyul: kehilangan dan kerugian negara jelas terjadi dan sangat
besar, namun pelakunya nyaris tak pernah kelihatan dan sulit sekali diungkap. Masyarakat
sepertinya pasrah dan nrimo, membiarkan kehilangan terus berlanjut karena
tidak bisa berbuat apa-apa.
8.
Korupsi
yang sudah meluas di tanah air ini bukan tidak disadari oleh rezim pemerintah
yang berkuasa. Sejak pemerintahan Bung Karno hingga pemerintahan SBY sekarang
ini sudah berbagai badan ataupun komisi yang terkait dengan antikorupsi
dibentuk. Namun demikian praktik korupsi masih saja meluas. Marie Muhammad melihat paling tidak ada
tujuh faktor masih meluasnya praktik
korupsi di negarakita. Pertama, kondisi lingkungan nasional yang tidak
menunjang, terutama untuk pemberantasan korupsi skala besar. Hal ini terjadi
karena struktur kekuasaan yang terpusat pada satu angan serta menipisnya
keteladanan atasan. Kedua, upaya penanggulangan korupsi selama ini lebi bersifat
legalistik-formal. Ketiga, lemahnya lembaga peradilan dan law enforcement. Keempat, kooptasi terhadap kewenangan
lembaga-lembaga negara seperti DPR dan BPK. Kelima, lemahnya aparatur
pengawasan. Keenam, adanya intervensi politik, misalnya dalam tender-tender
proyek besar. Ketujuh, belum diterapkannya asas pembuktian terbalik dalam
tindak pidana korupsi (Hamid dan Sayuti,1999:
73).
9. Berdasarkan hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun
2010 semester I, terjadi peningkatan kasus korupsi (176 kasus) dibandingkan
dengan kasus korupsi pada tahun 2009 semester I (86 kasus). Potensi kerugian
negara juga mengalami peningkatan dari
korupsi Rp1,7 triliun (2009) menjadi Rp2,102 triliun (2010). Pelaku
korupsi tidak hanya terbatas pada birokrasi pemerintahan dan pejabat publik,
tetapi korupsi sudah menjalar ke perusahaan swasta. Pelaku korupsi yang
menempati peringkat tertinggi diduduki oleh perusahaan swasta dengan latar
belakang komisaris maupun direktur perusahaan sebanyak 61 orang.Empat pelaku
tertinggi lainnya yakni, kepala bagian (56 orang), anggota DPRD (52 orang),
karyawan atau staf di pemerintah kabupaten/kota (35 orang) dan kepala dinas (33
orang).
Korupsi
dan Pembangunan Ekonomi
10.
Satu pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana
masalah korupsi ini jika dilihat dari perspektif keadialan ekonomi ekonomi?
Dalam sudut pandang makro, maka korupsi ini umumnya lebih banyak berdampak
negatif pada perekonomian. Namun demikian, dalam perspektif mikro, dalam arti
dilihat dari sudut pandang pelaku-pelaku ekonomi yang membayarkan sogokan pada
para pejabat yang korup tersebut, perbuatan korupsi itu mungkin saja justru
dapat mempertinggi tingkat efisiensi dan mendukung usahanya. Ini berkaitan
dengan berbagai keistimewaan yang diperoleh sebagai implikasi dari dana yang
dikeluarkannya. Namun demikian, yang jelas, di kalangan sementara ekonom masih terdapat
perdebatan tentang efek korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi ini.
11.
Beberapa penulis berpendapat bahwa korupsi dapat saja
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini melalui dua tipe mekanisme (Mauro, 1995).
Pertama, praktek korupsi yang dengan
pemberian dana untuk mempercepat sesuatu urusan (speed money) sehingga memungkinkan pelaku ekonomi terhindar dari
penundaan-penundaan urusannya. Sebagaimana diketahui, terhindar penundaan bagi
aktivitas ekonomi berarti biaya, baik itu dari sisi peluang usaha yang mungkin
lepas, ataupun biaya-biaya dari bunga, dan ongkos lainnya. Ini dapat mendukung
pertumbuhan apabila negara tersebut aturan birokrasinya sangat buruk. Kedua, adanya korupsi ini dapat
mendorong pegawai pemerintah untuk bekerja lebih keras. Mereka yang sebelumnya
tidak terlalu bersemangat menyelesaikan urusan rutinnya menjadi terstimulasi
untuk bekerja karena adanya insentif dari uang pelayanannya. Hal yang seperti
ini dapat terjadi di negara manapun.
12.
Namun demikian, dari banyak pendapat dan studi yang ada lebih
cenderung berpandangan bahwa korupsi ini justru memperlambat atau menurunkan
pertumbuhan ekonomi, di samping juga menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan
pendapatan masyarakat. Temuan-temuan dari Murphy, Shleifer, dan Vishny (1991) menunjukkan bahwa negara-negara yang
banyak aktivitas korupsi atau “rent
seeking activities”-nya cenderung lambat pertumbuhan ekonominya. Pandangan
ini lebih mudah dipahami, karena adanya korupsi berarti ada biaya lain-lain,
atau akan mempersulit suatu aktivitas ekonomi, yang akibatnya bisa meninggikan
biaya atau memperkecil minat untuk melakukan investasi sehingga mengganggu
kelancaran pertumbuban ekonomi.
13.
Dari penelitiannya di 58 negara, termasuk Indonesia,
Mauro (1995) mempertegas pandangan yang menyatakan bahwa korupsi akan cenderung
memperlambat pertumbuhan ekonomi. Mauro beranggapan, korupsi yang minimal akan
melahirkan birokrasi yang efisien sehingga dapat mendukung peningkatan
investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek moral,
politik, sosial, budaya, dan keamanan, maka memang adalah sulit untuk
melegitimasi adanya suatu praktek korupsi. Karena bagaimanapun juga dampak
negatif dari praktek korupsi ini jauh lebih banyak dibandingkan dampak positifnya,
terutama bagi masyarakat.
14.
Secara formal, upaya untuk menghapuskan korupsi (juga
korupsi, nepotisme, dan kronisme) sudah cukup gencar dilakukan di tanah air,
dan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan reformasi ekonomi yang
sedang berlangsung. Adanya praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan kronisme atau
koncoisme), telah menimbulkan adanya pengalokasian sumber daya menjadi tidak
optimal, atau melahirkan ketidakefisienan dalam proses produksi. Keluaran
(output) dari suatu proses produksi menjadi lebih kecil dari yang seharusnya
terjadi jika tidak ada KKN. Dengan kata lain, biaya untuk memproduksikan barang
dan jasa tidak mencerminkan prinsip least
cost combination, atau kombinasi ongkos paling murah.
15.
Pengalokasian proyek kepada satu perusahaan, tanpa suatu
proses pelelangan yang fair, misalnya, dapat membuat perusahaan memaksakan
anggaran yang dibuatnya untuk disetujui, walaupun itu bukanlah yang termurah. Demikian
pula tender-tender yang hasilnya sudah diatur sebelumnya sudah merupakan
rahasia umum bagi publik di tanah air. Demikian pula praktik kong-kalikongantara wajib pajak dan
petugas pajak yang disinyalir menimbulkan kebocoran triliunan rupiah telah
mengurangi anggaran yan seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan umum.
16.
Memang adanya korupsi tidak otomatis membuat suatu
perekonomian langsung ambruk dan tidak bisa berkembang. Sebagaimana yang
terlihat di negarakita, perekonomian tetap sempat mengalami pertumbuhan tinggi
di tengah badai korupsi tersebut. Namun perlu dicatat perkembangan pesat ini
dibarengi dengan eksploitasi dan perusakan sumberdaya alam secara
besar-besaran, serta membengkaknya utang luar negeri pemerintah dan swasta.
Jadi, bukan karena meningkatnya produktivitas faktor total (TFP) yang
mencerminkan adanya pembangunan ekonomi secar riil. Akibatnya, perekonomian
kita sangat rentan, sebagaimana yang tercermin dari mudahnya krisis ekonomi
memporakporandakan ekonomi nasional tahun 1997 lalu. Di samping itu,
pertumbuhannya tidak optimal, bahkan lebih rendah dibandingkan negara-negara
tetangga yang secara relatif memiliki sumber kekayaan alam yang lebih sedikit
dibandingkan Indonesia.
17.
Akibat lain tindak korupsi ini adalah terjadi
ketidakmerataan yang tajam di antara pelaku-pelaku ekonomi, sebagai akibat
ketidakadilan dalam perolehan fasilitas yang diberikan oleh birokrasi melalui
praktek korupsi dan kolusi, ataupun nepotisme (KKN). Karenanya, sepanjang
praktek KKN masih terjadi, maka upaya mengoptimalkan TFP tidak pernah akan
terwujud, yang berarti perekonomian selalu dalam kondisi tidak efisien dan
berdaya saing rendah.. Oleh karena itu, penghapusan prakltik-praktik KKN ini
merupakan bagian integral dari reformasi ekonomi yang arahnya untuk
meningkatkan produktivitas dari seluruh input yang digunakan dalam mendukung
pembangunan nasional.
Korupsi dan
Tata Kelola Pemerintahan
18.
Dilihat secara historis, praktik korupsi di tanah air sudah
ditemukan dalam kerajaan dan masyarakat tradisional Indonesia (lihat Onghokham, 1986). Ini terkait dengan
struktur masyarakat tradisional Indonesia yang dalam pola hubungan antar
lapisan masyarakatnya membuka peluang besar untuk terjadinya tindakan korupsi
tersebut. W.F. Wartheim, seorang profesor dalam bidang sejarah dan sosiologi
dari Universitas Amsterdam dalam bukunya Indonesian Society in Transition, sebagaimana dikutip Lopa (1986, h. 23) mengemukakan
bahwa korupsi di Indonesia antara lain bersumber pada peningkatan pandangan
feodal, yang sekaligus menimbulkan konflik loyalitas (conflicting loyalities) antara kewajiban-kewajiban terhadap
keluarga dan kewajiban terhadap negara. Dalam melihat korupsi di Indonesia ini
Lubis dan Scott mengemukakan bahwa korupsi merupakan sesuatu yang berakar pada
kebudayaan lama, dan berasal dari birokrasi patrimonial dari masa feodal yang
lampau, tetapi nilai-nilainya masih bekerja dalam diri manusia Indonesia (lihat
Lubis dan Scott, 1985, h. xix-xx). Pandangan ini sama dengan yang pernah
dikemukakan tokoh Proklamator Kemerdekaan RI Dr. Mohammad Hatta bahwa korupsi
sudah menjadi bagian dari “kebudayaan” Indonesia.
19.
Korupsi yang meluas di tanah air sebenarnya sudah banyak
menjadi sorotan banyak pihak, termasuk lembaga-lembaga internasional seperti TI
dan Bank Dunia. Pada awal 1990-an tokoh ekonomi Indonesia Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mengindikasikan adanya
“ketidakefisienan” pemanfaatan anggaran pembangunan sekitar 30% dari total
anggaran tersebut. Oleh masyarakat luas, istilah “ketidakefisienan” tersebut
diartikan sebagai tingkat kebocoran anggaran pembangunan. Walaupun begawan
ekonomi Indonesia itu telah “meluruskannya” dengan menjelaskan bahwa yang ia
maksudkan tersebut terkait dengan term ekonomi, ICOR (Incremental Capital Output Ratio), yang angkanya sekitar sepertiga
lebih tinggi dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya, masyarakat luas tetap
menafsirkan angka tersebut sebagai besaran korupsi di Indonesia. Publikasi dari
lembaga yang banyak mengamati tentang korupsi di dunia, Transparency International (1999), juga selalu menunjukkan
temuan tetang peringkat yang tinggi
sebagai negara yang korup bagi Indonesia.
20.
Praktik korupsi di Indonesia bahkan terjadi pula pada
kucuran dana pinjaman yang diberikan Bank Dunia, yang sebenarnya cukup ketat
dalam menyalurkan pinjaman. Pada pertengahan tahun 1997, Jeffery Wintersmengemukakan paling tidak sepertiga dari bantuan
(pinjaman) dari Bank Dunia untuk Indonesia “bocor ke birokrasi Indonesia dan
menguap begitu saja”. Sinyalemen korupsi atas dana pinjaman Bank Dunia
iniawalnya mendapat sanggahan keras,
baik dari pemerintah Indonesia maupun Bank Dunia. Baru setelah gerakan
reformasi marak, sinyalemen adanya korupsi atas dana Bank Dunia ini terkuak
dari suatu laporan internal Bank Dunia (1998) yang sempat bocor ke media massa.
Dana bantuan (pinjaman) yang diberikan kepada Indonesia yang dikorup tersebut
nilainya, diperkirakan sekitar 20% dari total yang diberikan oleh lembaga internasional
tersebut.
21.
Bank Dunia sendiri jelas sangat mengkhawatirkan praktik
yang dapat menurunkan kredibilitasnya tersebut. Berkait dengan korupsi ini, Bank
Dunia (2003) menengarai adanya tiga ancaman besar pada negara yang diakibatkan
oleh korupsi, yaitu (1) Merusak kemajuan tujuan pembangunan suatu negara:
merugikan kalangan miskin, menciptakan risiko makro-ekonomi yang besar,
mempertaruhkan stabilitas keuangan, mengganggu keamanan umum dan ketertiban
hukum, serta merusak legitimasi pelaksanan negara di kalangan rakyatnya; (2)
Merupakan risiko yang serius terhadap efektivitas proyek yang dibiayainya; (3)
Melemahkan kepercayaan publik dalam asistensi pembangunan.
22.
Bagaimana dengan
praktik korupsi saat ini? Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia berangsur
meningkat, namun praktik korupsi masih terus terjadi. Praktik tersebut terjadi
dari pemerintah pusat hingga daerah-daerah, BUMN-BUMN, DPR dan DPRD,
badan-badan yudikatif, serta lembaga-lembaga non departemen yang dibentuk
pemerintah. Saat ini kita melihat bagaimana praktik korupsi yang melibatkan
petinggi negara,
penegak hukum, para anggota parlemen, petinggi bank, bahkan beberapa mantan menteri, saat ini berada di penjara terkait korupsi. Sinyalemen
korupsi juga terjadi pada lembaga yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan
dan pemeriksaan terhadap penggunaan keuangan negara. Hanya saja tidak mudah
membawa kasus tersebut sampai ke lembaga peradilan karena sulitnya mencari
bukti dan membuktikan kasus tersebut, di samping adanya “permainan di lembaga peradilan
kita. Akibatnya, masyarakat juga ragu-ragu untuk memunculkan kasus korupsi yang
diketahuinya karena khawatir justru menjadi bumerang bagi diriya. Sinyalemen
korupsi di bidang perpajakan, beberapa tahun silam misalnya, sudah diketahui
secara luas. Namun ketika ada yang meraba-raba dengan menunjukkan estimasi
angka-angka korupsi di sektor tersebut, ia harus berhadapan dengan somasi dari
Dirjen Pajak sehingga harus meminta maaf secara terbuka karena tidak mempunyai
data kongkret tentang manipulasi dana pajak tersebut.
23.
Political will pemberantasan korupsi, saat ini, terkesan melakukan
“pembatasan” kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan. Perilaku korupsi
seakan-akan bertindak sendiri, padahal jejaring korupsi yang sudah merasuk di
setiap lini birokrasi, legislatif, dan yudikatif, dan juga BUMN-BUMN.Tali
temali korupsi yang melibatkan antara oknum berbagai institusi (sehingga
dilukiskan oleh seorang ustadz sebagai “korupsi
berjamaah”) juga semakin menyulitkan pemberantasan-nya. Bahkan beberapa
kasus korupsi seakain-akan berjalan di tempat dengan tudung berkeinginan
melindungi korp atau karena bisa mengancam stabilitas pemerintahan. Bagi masyarakat luas, berbagai langkah yang
telah dilakukan KPK, saat ini, sempat memberikan harapan
untuk mengurangi praktik korupsi yang masif di tanah air, walaupun ada pihak-pihak
yang berupaya “mengebiri” peran KPK ini.
Transparansi Kebijakan Publik Anti Korupsi
24. Salah satu pilar tata kelola pemerintahan adalah transparansi. Menurut OECD Public Management. pengertian transparansi adalah: “The term ‘transparency’ means different things to different groups [of regulators]. Concepts range from simple notification to the public that regulatory decisions have been taken to controls on administrative discretion and corruption, better organisation of the legal system through codification and central registration, the use of public consultation and regulatory impact analysis and actively participatory approaches to decisions making.” OECD (2002). Sedangkan menurut International Monetary Fund. …[b]eing open to the public about the structure and functions of government, fiscal policy intentions, public sector accounts and fiscal projections” IMF (1998).
25. Transparansi memungkinkan masyarakat luas untuk ikut ambil bagian dalam memberikan kontribusi positif bagi kebijakan pemerintah, sekaligus menyelesaikan berbagai persoalan dalam pemerintahan. Informasi terkait kebijakan yang diambil merupakan input bagi kontrol politik terhadap kebijakan sektor publik sekaligus bahan evaluasi dan monitoring. Transparansi menjamin hak atas berbagai informasi yang membantu mencegah penggunaan informasi oleh individu atau kelompok untuk kepentingan pribadi, demi keuntungan politik, maupun ekonomi (OECD, 2003). Bagi masyarakat negara miskin atau berkembang, transparansi merupakan instrumen penting bagi upaya meningkatkan harkat hidup rakyat. Kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena multi dimensi yang mencakup berbagai hal antara lain kurangnya akses pada pelayanan dasar (seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan lain-lain), hak-hak dasar warganegara, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan manusia. Maraknya korupsi selanjutnya membawa dampak pada makin lemahnya pilar-pilar pembangunan manusia, terabaikannya hak-hak asasi manusia, dan kerangka perundangan yang dibuat untuk melindungi hak-hak masyarakat tersebut (Tranparency International, 2011).
26. Transparansi sektor publik. Transparansi sektor publik dihasilkan dari berbagai kebijakan, institusi, maupun praktek yang menghubungkan informasi sehingga memungkinkan meningkatknya pemahaman terhadap kebijakan publik. Proses politik yang berlangsung pun dapat berjalan dengan lebih efektif dan mengurangi ketidakpastian kebijakan, seiring makin transparannya sektor publik. Sebagaimana diungkapkan oleh peraih Nobel Ekonomi Amartya Sen, tranparansi bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan sebuah instrumen untuk mencapai tujuan lainnya seperti peningkatan kesejahteraan umum dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan.
27. Proses politik dan demokratisasi yang berjalan selama masa reformasi belum memberikan hasil maksimal dalam upaya memperkuat posisi pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Hasil studi Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi (2010) yang meneliti indikator tata pamong pemerintah yang melibatkan data dari sekitar rata-rata 194 negara untuk setiap indikatornya ini menunjukkan menunjukkan bahwa dari enam indikator tata pamong yang dinilai (voice and accountability, political stability and absence of violence/terorrism, government effectiveness, regulatory quality, rule of law dan control of curroption), hanya voice and accountability yang menunjukkan perubahan signifikan antara tahun 1996 dan 2007. Pada periode 2007-2010, indikator voice and accountability juga masih menunjukkan perubahan signifikan, selain terjadi sedikit perubahan pada indikator regulatory quality, Hal tersebut menunjukkan bahwa proses demokratisasi yang terus berlangsung belum mampu menciptakan pemerintahan yang secara efektif mampu menjaga stabilitas dan keamanan, mengelola pemerintahan secara efektif, membuat perundangan yang berkualitas, menegakkan hukum, dan mencegah korupsi.
Tabel 1
Perkembangan Indikator Tata Pamong Indonesia, 1996, 2007, dan 2010
World
Governance Indicators
|
1996
|
2007
|
2010
|
Voice and
Accountability
|
-1.17
|
-0.17
|
-0.06
|
Political
Stability & Absence of Violence/Terrorism
|
-0.81
|
-1.13
|
-
|
Government
Effectiveness
|
0.14
|
-0.41
|
-0.89
|
Regulatory
Quality
|
0.35
|
-0.30
|
-0.20
|
Rule of Law
|
-0.37
|
-0.71
|
-0.63
|
Control of
Corruption
|
-0.55
|
-0.72
|
-0.73
|
Sumber:
Diolah dari lampiran Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi (2010)
28.
Jika ditambah dengan indikator korupsi seperti Corruption Perception Index
dari Tranparency International, maka makin jelas bahwa kapasitas bangsa
dalam membangun pemerintahan yang bersih masih jauh dari memadai sekaligus
menjelaskan mengapa bangsa kita selalu kalah dan tidak kompetitif dalam
percaturan ekonomi baik regional apalagi internasional.
Tabel 2 Corruption Perception Index Indonesia dan Sejumlah Negara
Negara
|
Country
Rank Corruption Perception Index
|
|||||||||||
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
|
Indonesia
|
851
|
882
|
963
|
1224
|
1335
|
1376
|
1307
|
1118
|
1269
|
11110
|
11011
|
10012
|
Malaysia
|
36
|
36
|
33
|
37
|
39
|
39
|
44
|
39
|
47
|
56
|
56
|
60
|
Thailand
|
60
|
61
|
64
|
70
|
64
|
59
|
63
|
84
|
80
|
84
|
78
|
80
|
Korsel
|
48
|
42
|
40
|
50
|
47
|
40
|
42
|
40
|
40
|
39
|
54
|
43
|
Keterangan:
1= dari 90 negara, 2= dari 91 negara, 3= dari
108 negara,4= dari 133 negara, 5= dari 145 negara, 6=
dari 158 negara, 7= dari 160 negara, 8=dari 178 negara, 9=dari
178 negara, 10=dari 180 negara, 11=dari 178 negara, 12=dari
182 negara,
Sumber:
Diolah dari Transparency International Corruption Perceptions Index (CPI)
berbagai edisi (2000-2011).
29. Gambaran
diatas menunjukkan bahwa transparansi kebijakan publik sebagai salah satu pilar
pemerintahan yang menjamin berkurangnya korupsi menjadi sangat signifikan untuk
terus ditingkatkan. Namun demikian upaya meningkatkan tranparansi tersebut
harus disadari merupakan upaya simultan yang melibatkan banyak elemen. Sebagai
ilustrasi, kerangka Tranparaency
International dalam membangun strategi kebijakan pro-poor dan anti-corruption
secara beriringan, dapat dijadikan contoh. Dalam strategi ini, dilibatkan
beberapa elemen pokok antara lain partisipasi dalam bidang politik, ekonomi dan
sosial. Dalam kerangka politik, diperlukan mekanisme kerja yang menghubungkan
masyarakat marginal--yang sering dirugikan oleh kebijakan-- dengan pembuat
keputusan di tingkat atas, sehingga suara masyarakat ini bisa lebih didengar.
Kerangka kebijakan dalam bidang ekonomi juga disusun agar mencakup bagaimana
kesejahteraan dan kemiskinan terjadi serta bagaimana penyalahgunaan kekuasaan
terjadi di dalam proses pembangunan. Ini mengandung artian bahwa kebijakan
publik tetap diarahkan pada aspek-aspek strategis dalam upaya meningkatkan
harkat hidup rakyat di satu sisi sekaligus meningkatkan transparansi yang
mengeliminasi terjadinya korupsi. Sedangkan pada tingkatan sosial-masyarakat,
harus diatur upaya yang sedemikian rupa mampu membuka akses bagi seluruh
lapisan masyarakat untuk melihat dan mengikuti proses pengambilan keputusan
baik politik maupun ekonomi.
30.
Jika kerangka di atas diterapkan dalam konteks Indonesia, maka upaya
peningkatan transparansi dengan sendirinya akan mencakup sejumlah proses
politik, hukum, ekonomi, dan sosial dalam masyarakat Indonesia. Kemauan politik
pemerintah dan juga legislatif dalam membangun pemerintahan yang bersih dan
transparan selanjutnya diterjemahkan dalam penyusunan peraturan perundangan
yang mengakomodasi kepentingan setiap elemen dalam masyarakat, sekaligus
melibatkan lebih banyak pihak dalam proses pengambilan keputusan. Selanjutnya
kerangka kebijakan harus secara langsung diarahkan untuk mencapai tujuan
pembangunan seperti kesejahteraan rakyat, pengurangan kemiskinan dan pengangguran,
peningkatan sarana dan prasarana, sekaligus diarahkan agar mereduksi peluang
penyalahgunaan kekuasaan untuk kemudian berdampak pada terjadinya korupsi.
Daftar Pustaka
Asia Pacific
Economic Cooperation (2002) “Leaders’ Statement to Implement APEC Transparency
Standards”. Los Cabos, Mexico, October 27.
www.apecsec.org.sg/virtualib/econlead/.
Daniel
Kaufmann, Aart Kraay and Massimo Mastruzzi (2010). "The Worldwide Governance Indicators : A
Summary of Methodology, Data and Analytical Issues". World Bank Policy
Research Working Paper No. 5430.
Edy Suandi Hamid
(2005), “Korupsi dan Pembangunan Ekonomi” makalah yang dipresnbtasikan diskusi
panel di Unika Atmjaya Yogyakarta,
International
Monetary Fund (1998) Code of Good Practices on Fiscal Transparency
-Declaration on Principles.
OECD (2002) Regulatory
Policies in OECD Countries: From Intervention to Regulatory Governance.
OECD (2003)Public
Sector Transparency and International Investment Policy, 11 April 2003 Committee
on International Investment and Multinational Enterprises Meeting on 9-11 April
2003.
Tranparency
International, (2008). Working Paper 02/2008. Poverty and Corruption.
World Trade
Organisation (2002) Transparency. WT/WGTI/W/109.
No comments:
Post a Comment