Sejarah Singkat Mata Uang Rupiah di Indonesia

Mula-mula logam mulia dipergunakan dalam proses pertukaran dengan bentuk batangan-batangan, dan nilainya dinyatakan menurut kesatuan timbangan dari logam itu. Pada tiap-tiap pertukaran, nilainya harus selalu ditetapkan kadarnya, sehingga hal tersebut merupakan kesukaran. Oleh karena itu, dibuatkan bentuk mata uang tertentu dengan berat dan kadar yang dijamin oleh pemerintah; disertakan pula cap atau stempel pada bentuk mata uang. Yang dimaksudkan dengan mata uang ialah kesatuan-kesatuan logam yang mempunyai bentuk dan tanda tertentu, yang diberikan oleh atau atas nama pembesar atau pemerintah yang sah. Tanda-tanda berbentuk tulisan, gambar, dan di pinggirnya ada garis-garis. Hal ini menyatakan bahwa kesatuan uang tersebut harus diterima dalam lalu lintas pembayaran.

Sejarah kemunculan mata uang yang memiliki fungsi sebagai alat pertukaran merupakan suatu bentuk respons terhadap timbulnya hambatan atau kendala dalam penerapan sistem barter di masyarakat, dimana pada waktu itu pertukaran barang dengan barang lain secara langsung tanpa menggunakan alat pertukaran, dipandang kurang efektif dalam pelaksanaannya karena membutuhkan tenaga dan waktu yang relatif lama dalam prosesnya, sehingga dalam kenyataanya tidak banyak terjadi transaksi atau kegiatan perdagangan yang mungkin dapat dilakukan apabila sistem barter ini digunakan sebagai satu-satunya cara atau media dalam melakukan pertukaran. Pada sistem barter murni, salah satu hal yang harus dipenuhi sehingga pelaksananya dapat berjalan dengan lancar adalah suatu keinginan yang sama (double coincidence of wants) diantara masing-masing pihak yang akan menukarkan barang tersebut. Tanpa dilandasi oleh prinsip tersebut, maka dalam prakteknya akan sulit untuk terjadinya suatu transaksi atau kegiatan barter diantara para pihak. Selain itu, dalam kenyataanya untuk menemukan orang-orang yang memiliki keinginan yang sama, sudah barang tentu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan dengan beragamnya jenis kebutuhan dari masing-masing pihak. Dengan Memperhatikan hal tersebut di atas, maka penerapan prinsip kesamaan akan keinginan dan kebutuhan pada sistem barter akan menimbulkan hambatan atau kendala bagi setiap manusia dalam memenuhi berbagai macam kebutuhannya yang beraneka ragam dari waktu ke waktu.

Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut di masyarakat, yaitu dengan cara menggunakan barang atau komoditi tertentu yang secara umum dapat diterima sebagai alat pertukaran (medium of exchange). Penggunaan benda atau komoditi tersebut didasarkan pada adanya suatu kesepakatan di antara anggota masyarakat yang menggunakannya pada suatu daerah tertentu. Pada umumnya, benda yang dipergunakan tersebut, selain dapat diterima sebagai alat pembayaran dalam sistem perekonomian yang sangat sederhana tersebut, seringkali juga memiliki kegunaan untuk dikonsumsi atau keperluan produksi. 

Menurut pandangan D.H. Robertson, dengan menggunakan barang atau komoditi tertentu tersebut, maka kita dapat mengartikan “uang” sebagai segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai pembayaran untuk benda -benda atau untuk melunasi kewajiban-kewajiban lain yang timbul karena dilaksanakannya sesuatu usaha (business obligation). Dari pemahaman tersebut, Robertson mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, di mana pada abad ke-19 minuman berupa bir dibayarkan sebagai upah kepada para buruh pada pertambangan-pertambangan batu bara di negara Inggris. Pada waktu itu, uang (bir) sangat popular dan bersifat sangat likuid (cair) sebagai alat pembayaran. Namun mengingat pada waktu itu bir tersebut dikeluarkan dalam jumlah yang berlebihan, maka dalam prakteknya menimbulkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh orang perorangan dalam kaitan dengan peyimpanannya.

Untuk mengatasi kesulitan ini, maka harus diperlukan suatu ukuran nilai (standar nilai) yang dapat menaruh barang-barang yang akan dipertukarkan ke dalam suatu pembilang. Pembilang ini disebut standar uang atau baku uang. Pada awal mula terjadinya, maka standar itu masih bersifat subjektif. Akan tetapi dengan dilaksanakannya pertukaran secara terus-menerus maka berubahlah menjadi standar yang bersifat objectif, sehingga memungkinkan untuk mengadakan penilaian terhadap barang-barang yang akan dipertukarkan. Standar nilai yang pertama-tama dipergunakan ialah barang-barang konsumsi. Dengan adanya penggunaan ukuran nilai yang objektif, maka pertukaran barter menjadi lebih cepat dan mudah, meskipun demikian ini tidak berarti bahwa kesulitan-kesulitan barter sudah dapat diatasai sepenuhnya. Jadi dalam pertukaran barter tetap masih ada kesulitan-kesulitan.

Selanjutnya masalah, kendala serta kesulitan-kesulitan yang dijumpai pada perekonomian barter ini tersebut merupakan tantangan yang harus dipecahkan dan dicari jalan keluarnya dan menyebabkan anggota masyarakat berpikir, berusaha dan mencari akal sehingga akhirnya menemukan suatu “ benda” yang tidak saja hanya sekedar dibutuhkan dan disukai oleh setiap orang, tetapi juga dengan senang hati diterima sebagai pengganti barang yang dipertukarkannya. Dengan demikian seseorang yang akan menukarkan suatu barang tidak perlu merasa khawatir jika hasil penukarannya tersebut nantinya tidak bisa ditukarkan lagi dengan barang lain yang dikehendakinya. Hal tersebut karena dengan “benda” yang disukai dan dibutuhkan oleh masyarakat umum tersebut, seseorang yang memilikinya akan lebih mudah menukarkanya lagi dengan barang apapun yang dikehendakinya dan kepada siapapun.25 

Mata uang yang pernah beredar dan berlaku di Indonesia untuk periode 1945-1950 dapatlah disusun sebagai berikut: 
  1. O.R.I yaitu uang Republik Indonesia yang berlaku di Jawa saja. 
  2. U.R.I.P.S yaitu uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera yang berlaku di sebagian Sumatera. 
  3. U.R.I.T.A yaitu uang Republik Indonesia Tapanuli yang berlaku di daerah Tapanuli. 
  4. U.I.P.S.U yaitu uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara yang berlaku di Provinsi Sumatera Utara. 
  5. U.R.I.B.A yaitu uang Republik Indonesia Baru Aceh yang berlaku di daerah Aceh 
  6. Uang Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang yang berlaku di Palembang.
Kemerdekaan Indonesia yang masih berusia muda ternyata mendapat rongrongan dari berbagai pihak, tidak hanya dari luar tetapi juga dari dalam. Rongrongan dari luar adalah pihak pemerintah sipil Hindia-Belanda (Netherlands India Civil Administration)yang ingin berkuasa kembali ke Indonesia, berkas negeri jajahannya.Usaha tentara NICA untuk menduduki Indonesia kembali menimbulkan revolusi fisik. Mereka menghadapi perlawanan sengit dari pejuang-pejuang Republik Indonesia (RI). Perang kemedekaan tidak hanya melibatkan senjata tetapi juga uang. Pada masa itu terjadi “perang ekonomi”, karena kedua belah pihak yang bermusuhan yaitu RI dan NICA bersama -sama mencetak dan mengedarkan uang untuk merebut simpati masyarakat. Uang keluaran NICA waktu itu disebut “uang merah” sedangkan uang keluaran pemerintah RI atau ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang didukung oleh pejuang-pejuang RI yang disebut uang putih.

Untuk mematahkan perlawanan pejuang-pejuang RI, Tentara NICA mengadakan razia besar-besaran terhadap percetakan ORI yang berada di Jakarta. Menghadapi blokade musuh ini, akhirnya pemerintah RI menetapkan kebijakan kepada daerah-daerah untuk mencetak ORI sendiri yang disebut ORIDA. Oleh karena itu ada ORI daerah Yogyakarta, daerah Banten, Lampung, Jambi, Palembang, Bengkulu dan daerah-daerah lain. Kemudian, pada tahun 1949-1950 Belanda memancarkan taktik baru, devideet impera, yaitu mecoba memecah belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negara federasi RIS (Republik Indonesia Serikat), sehingga di beberapa daerah timbul gerakan pemberontakan yang intinya ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akibatnya timbul berbagai pemberontakan, yang masing-masing mencetak dan mengedarkan mata uang di daerahnya sendiri.28

Setelah berlaku Hukum Darurat No. 20, tanggal 27 September 1951 yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia adalah Rupiah (kecuali Irian Barat) dan pada tahun 1968 dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 13 Tahun 1968 ditetapkan bahwa satuan hitung uang Indonesia adalah Rupiah dengan singkatan Rp, dibagi dalam 100 (seratus) sen dan tiap pembayaran yang mengenai uang jika dilakukan di Indonesia harus dengan uang rupiah kecuali dengan tegas diadakan ketentuan lain dengan perundangan.

Read more »

Pengertian Disiplin Kerja

Kata disiplin itu sendiri berasal dari bahasa Latin “discipline” yang berarti “latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat”. Hal ini menekankan pada bantuan kepada pegawai untuk mengembangkan sikap yang layak terhadap pekerjaannya dan merupakan cara pengawas dalam membuat peranannya dalam hubungannya dengan disiplin. Menurut Keith David dalam Mangkunegara (2009 : 129), menyatakan bahwa disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. 

Sedangkan pendapat Sastrohadiwiryo (2003 : 291) disiplin kerja dapat didefinisikan sabagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh, dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran disini merupakan sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, dia akan mematuhi atau mengerjakan semua tugasnya dengan baik, bukan atas paksaan. Sedangkan kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis (Hasibuan, 2005 : 193-194).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Disiplin kerja pegawai negeri sipil merupakan sikap atau tingkah laku yang menunjukkan kesetiaan dan ketaatan seseorang atau sekelompok orang terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh instansi atau organisasinya baik yang tertulis maupun tidak tertulis sehingga diharapkan pekerjaan yang dilakukan efektif dan efesien. 

Tujuan Disiplin Kerja 
Secara umum dapat disebutkan bahwa tujuan utama disiplin kerja adalah demi kelangsungan organisasi atau perusahaan sesuai dengan motif organisasi atau perusahaan yang bersangkutan baik hari ini maupun hari esok. Menurut Sastrohadiwiryo (2003 : 292) secara khusus tujuan disiplin kerja para pegawai, antara lain :

  1. Agar para pegawai menepati segala peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan maupun peraturan dan kebijakan organisasi yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, serta melaksanakan perintah manajemen dengan baik. 
  2. Pegawai dapat melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya serta mampu memberikan pelayanan yang maksimum kepada pihak tertentu yang berkepentingan dengan organisasi sesuai dengan bidang pekerjaan yang diberikan kepadanya. 
  3. Pegawai dapat menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana, barang dan jasa organisasi dengan sebaik-baiknya. 
  4. Para pegawai dapat bertindak dan berpartisipasi sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada organisasi. 
  5. Pegawai mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 
Jenis-jenis Disiplin 
Handoko (2003 : 144) menggolongkan jenis-jenis disiplin antara lain : 

1. Disiplin Preventif 
Disiplin preventif merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan maksud untuk mendorong para pegawai agar sadar mentaati berbagai standar dan aturan, sehingga dapat dicegah berbagai penyelewengan atau pelanggaran. Yang utama dalam hal ini adalah ditumbuhkannya “self discipline” pada setiap pegawai tanpa kecuali. 

2. Disiplin Korektif
Disiplin korektif merupakan kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran yang terjadi terhadap aturan-aturan, dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif ini berupa suatu bentuk hukuman atau tindakan pendisiplinan (disciplinary action), yang wujudnya dapat berupa “peringatan” ataupun berupa “schorsing”. Semua sasaran pendisiplinan tersebut harus positif, bersifat mendidik dan mengoreksi kekeliruan untuk tidak terulang kembali. 

Tingkat dan Jenis Sanksi Disiplin Kerja 
Tujuan utama pengadaan sanksi disiplin kerja bagi para tenaga kerja yang melanggar norma-norma organisasi adalah memperbaiki dan mendidik para tenaga kerja yang melakukan pelanggaran disiplin. Pada umumnya sebagai pegangan pimpinan meskipun tidak mutlak, tingkat dan jenis sanksi disiplin kerja yang dikemukakan oleh Sastrohadiwiryo (2003 : 293 –294) terdiri atas sanksi disiplin berat, sanksi disiplin sedang, sanksi disiplin ringan.



1. Sanksi Disiplin Berat 
Sanksi disiplin berat misalnya : 
  • Demosi jabatan yang setingkat lebih rendah dari jabatan atau pekerjaan yang diberikan sebelumnya. 
  • Pembebasan dari jabatan atau pekerjaan untuk dijadikan sebagai tenaga kerja biasa bagi yang memegang jabatan. 
  • Pemutusan hubungan kerja dengan hormat atas permintaan sendiri tenaga kerja yang bersangkutan.
  • Pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat sebagai tenaga kerja di organisasi atau perusahaan.
2. Sanksi Disiplin Sedang
Sanksi disiplin sedang misalnya :
  • Penundaan pemberian kompensasi yang sebelumnya telah dirancangkan sabagaimana tenaga kerja lainnya.
  • Penurunan upah atau gaji sebesar satu kali upah atau gaji yang biasanya diberikan harian, mingguan, atau bulanan.
  • Penundaan program promosi bagi tenaga kerja yang bersangkutan pada jabatan yang lebih tinggi.
3. Sanksi Disiplin Ringan
Sanksi disiplin ringan misalnya :
a) Teguran lisan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
b) Teguran tertulis.
c) Pernyataan tidak puas secara tertulis.

Dalam penetapan jenis sanksi disiplin yang akan dijatuhkan kepada pegawai yang melanggar hendaknya dipertimbangkan dengan cermat, teliti, dan seksama bahwa sanksi disiplin yang akan dijatuhkan tersebut setimpal dengan tindakan dan perilaku yang diperbuat. Dengan demikian, sanksi disiplin tersebut dapat diterima dengan rasa keadilan. Kepada pegawai yang pernah diberikan sanksi disiplin dan mengulangi lagi pada kasus yang sama, perlu dijatuhi sanksi disiplin yang lebih berat dengan tetap berpedoman pada kebijakan pemerintah yang berlaku.

Read more »

Teori Konsep Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan.

Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice. (Sarwono, 2004).

Menurut Skinner(1983) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus(rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme merespon,maka teori skiner ini disebut dengan teori S-O-R atau Stimulus Organisme Respon. Skiner membedakan ada dua respon yaitu :

1. Respondent respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Stimulus semacam ini disebut Eliciting stimulation karena menimbulkan respon yang relatif cepat. Misalnya makanan yang lezat menimbulkan reaksi untuk makan. Respondent respon ini juga memcakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih aau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta dan sebagainya.

2. Operant Respon atau instrumental response, yakni respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh stimulus dan perangsang tertentu. Perangsang ini disebut dengan reinfocing stimulation atau reinfocer, karena memperkuat respon.

- Jenis Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka prilaku dapat dibedakan menjadi dua.

1. Perilaku tertutup.
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, belum dapat diamati oleh orang lain secara jelas. Misalnya, seorang ibu hamil tau pentingnya pemeriksaan kehamilan,seorang pemuda tau bahwa merokok berbahaya untuk kesehatan.

2. Perilaku terbuka.
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati oleh orang lain. Misalnya seorang ibu yang memeriksakan kehamilannya.

Seperti telah disebutkan diatas, sebagian besar perilaku manusia adalah operant respon.
Oleh sebab itu untuk membentuk jenis respon atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi yang disebut dengan operant conditioning. Prosedur pembentukan prilaku dalam operant conditioning ini menurut skinner adalah sebagai berikut.

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinfocer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinfocer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.

- Determinan Perilaku
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya (Notoatmodjo,2003).

Faktor - faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua yakni:

a. Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya: jenis kelamin, tingkat emosional, tingkat kecerdasan,dan lain-lain.

b. Faktor eksternal, yakni lingkungan: baik lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo,2003).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan aktifitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Tim ahli WHO (1984) menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku ada empat alasan pokok yaitu :

1. Pemikiran dan perasaan.
Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap, persepsi, kepercayaan- kepercayaan, dan penilaian - penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan ) dan lain-lain.

2. Orang penting sebagai refrensi.
Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apapun yang ia lakukan ataupun katakan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap kelompok refrensi seperti kepala suku, guru, kepala desa, dan lain-lain.

3. Sumber-sumber daya
Yang termasuk adalah fasilitas - fasilitas misalnya: waktu, uang, tenaga kerja, keterampilan, pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.

4. Kebudayaan
Norma, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang disebut dengan kebudayaan. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap perilaku. Kebudayaan selau berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia.
Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut sebagai faktor internal dan sebagian terletak di luar dirinya atau disebut dengan faktor eksternal atau faktor lingkungan.

Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, yang mengatakan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 (tiga) faktor.

1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadapkesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang di anut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana ataufasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan bergizi, dsb. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, posobat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dsb.

Termasuk juga dukungan sosial, baik dukungan suami maupun keluarga.

3. Faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toma), sikap dan perilaku pada petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang peraturan peraturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) , perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
1. Perubahan alamiah (natural change) ialah perubahan yang dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dimana ia beraktifitas.

2. Perubahan terencana (planned change) ialah perubahan ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.

3. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness to change) ialah perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program baru, maka yang akan terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesedian untuk berubah yang berbeda-beda.

Perilaku Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2005), respon seseorang terhadap rangsangan atau objekobjek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit adalah merupakan suatu perilaku kesehatan (healthy behavior). Ringkasnya perilaku kesehatan itu adalah semua aktivitas seseorang yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati(unobservable).

Pemeliharaan kesehatan ini meliputi pencegahan dan perlindungan diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyenbuhan apabila sakit. Dengan demikian, perilaku kesehatan bisa dibagi dua, yaitu:
a. Perilaku orang sehat agar tetap sehat dan meningkat, sering disebut dengan perilaku sehat (healthy behavior) yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindar dari penyakit dan penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnyaesehatan (perilaku promotif). Contoh: olah raga teratur, tidak merokok, cuci tangan pakai sabun sebelum makan dan sebagainya.

b. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang untuk memperoleh penyembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan yang dideritanya. Pelayanan kesehatan yang dicari adalah fasilitas kesehatan modern (rumah sakit,puskesmas, poliklinik dan sebagainya) maupun tradisional (dukun, sinshe, paranormal), maupun pengobatan modern atau profesional (rumah sakit,puskesmas, poliklinik, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2005), beliau membagikan perilakukesehatan menjadi tiga, yaitu:

1. Perilaku sehat (healthy behavior)
Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan danmeningkatkan kesehatan, antara lain:
a. Kegiatan fisik yang teratur dan cukup.
b. Makanan dengan menu seimbang .
c. Tidak merokok serta meminum minuman keras dan tidak memakai narkoba.
d. Istirahat yang cukup.
e. Pengendalian stress.
f. Perilaku atau gaya hidup positif.
2. Perilaku sakit (Illness behavior)

Perilaku sakit adalah tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit atau terkena masalah kesehatan pada dirinya atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan, atau untuk mengatasi masalah kesehatan yang lainnya. Tindakan yang muncul pada orang sakit atau anaknya sakit adalah:

a. Didiamkan saja dan tetap manjalani aktivitas sehari-hari.
b. Melakukan tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri melalui cara tradisional atau cara modern.

Domain Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar atau dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat aktif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono,2000).

Meskipun perilaku adalah bentuk reaksi atau respon terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakterisitik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktorfaktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua yakni :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Menurut Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005), beliau mendapati terdapat tiga domain perilaku yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ahli pendidikan di Indonesia kemudian menterjemahkan ketiga domain ini ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa, dan peri tindak. Untuk kepentingan pendidikan praktis, tiga tingkat ranah perilaku telah dikembangkan sebagai berikut:

1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Terdapat intensitas yang berbeda-beda pada setiap pengetahuan sesorang terhadap objek. Tingkat pengetahuan dapat dibagi dalam 6 tingkat,yaitu:

a. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.

b. Memahami (comprehension)
Memahami sesuatu objek bukan sekadar tahu objek tersebut, tetapi orang itu harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.

c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksudkan dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain atau kondisi yang sebenarnya.
Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitunganperhitungan hasil penelitian.

d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-kompenen yang terdapat dalam sebuah masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang itu sudah dapat menggambarkan (membuat bagan), memisahkan, membedakan, mengelompokkan, dan sebagainya. Misalnya, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi.


e. Sintesis (syntesis)
Sintesis adalah kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Umumnya, analisis adalah kemampuan untuk menghasilkan formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata- kata atau kalimat sendiri tentang halhal yang telah dibaca atau didengar.

f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu, yang berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau yang sedang berlaku dalam masyarakat. Misalnya seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak.

2. Sikap (Attitude)
Menurut Campbell (1950), sikap dapat didefinisikan dengan sederhana, yakni:"An individual's attitude is syndrome of response consistency with regard to object." Dengan kata lain, sikap itu adalah kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain. Sementara itu, Newcomb menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi yang terbuka atau tingkah laku yang terbuka.

Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005), pula merumuskan bahwa sikap terbentuk dari 3 komponen utama,yaitu :

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek.
c. Kecendrungan untuk bertindak.

Sikap bisa dibagi menurut tingkat intensitasnya, yaitu :
1. Menerima
Menerima diartikan individu atau subjek mau menerima stimulus atau

objek yang diberikan.

2. Menanggapi
Menanggapi diartikan subjek memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

3. Menghargai
Menghargai diartikan apabila subjek dapat memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggungjawab.
Bertanggung jawab diartikan subjek tersebut berani mengambil resiko terhadap apa yang diyakininya. Bertanggung jawab atas segala sesuatu  yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling    tinggi.

3. Tindakan (practise).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlakukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Faktor-faktor misalnya adanya fasilitas atau sarana dan prasarana perlu supaya sikap meningkat menjadi tindakan. Praktik atau tindakan dapat dikelompokkan menjadi 4 tingkatan mengikut kualitasnya, yaitu:

1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat memilih makanan yang bergizi untuk anak balitanya.

2. Respons terpimpin ( guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua. Misalnya seseorang ibu dapat memasak sayur dengan benar.

3. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang sudah mengimunisasikan bayinya pada umur- umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.

4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya seorang ibu dapat memasak makanan yang bergizi dengan bahan-bahan yang murah dan sederhana. (Notoadmodjo,2010)

- Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau promosi kesehatan, maka teori tentang perubahan perilaku perlu dipahami dengan baik bagi praktisi promosi dan pendidikan kesehatan. Perubahan perilaku kesehatan sebagai tujuan dari promosi atau pendidikan kesehatan sekurang-kurangnya mempunyai 3 dimensi yakni:

a. Mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai dengan nilai-nilai kesehatan).
b. Mengembangkan perilaku positif (pembentukan atau pengembangan perilaku sehat).
c. Memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai norma dan nilai kesehatan (perilaku sehat) dengan kata lain mempertahankan perilaku sehat yang sudah ada.

Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2007), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

a. Perubahan alamiah (Natural Change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi perubahan lingkungan fisik, sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan.

b. Perubahan terencana (Planned Change)
Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya: pak Anwar adalah perokok berat, karena pada suatu saat ia terserang batuk yang sangat mengganggu, maka ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit dan akhirnya ia berhenti merokok sama sekali.

c. Kesediaan untuk berubah (Readiness to Change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang yang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya), dan sebagian orang lain sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan karena setiap orang mempunyai kesediaan yang berbeda-beda untuk berubah meskipun kondisinya sama.

- Strategi Perubahan Perilaku
Dalam program-program kesehatan, agar diperoleh perubahan perilaku yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, sangat diperlukan usaha-usaha konkret dan positif.
Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh WHO dikelompokkan menjadi 3:

a. Menggunakan kekuatan (Enforcement)
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini dapat ditempuh menggunakan cara-cara kekuatan baik fisik maupun psikis, misalnya dengan cara mengintimidasi atau ancaman-ancaman agar masyarakat atau orang mematuhinya. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum disadari oleh kesadaran sendiri.

b. Menggunakan kekuatan peraturan atau hukum (Regulation)
Perubahan perilaku masyarakat melalui peraturan, perundangan atau peraturanperaturan tertulis ini sering juga disebut “law enforcement’” atau “regulation”. Artinya masyarakat diharapkan berperilaku, diatur melalui peraturan atau undang-undang secara tertulis. Misalnya, dilingkup pemerintah desa atau kelurahan dikeluarkan aturan, keluarga-keluarga yang istrinya tidak memeriksakan kehamilannya, maka tidak akan diberikan surat keterangan lahir bagi bayi yang dilahirkan.

c. Pendidikan (Education)
Perubahan perilaku kesehatan melalui cara pendidikan atau promosi kesehatan ini diawali dengan cara pemberian informasi-informasi kesehatan. Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut.

Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan ini akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena disadari oleh kesadaran mereka sendiri (bukan karena paksaan).

Perubahan perilaku dengan pendidikan akan menghasilkan perubahan yang efektif bila dilakukan melalui metoda “Diskusi Partisipasi”. Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua yang dalam memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya. Dengan demikian maka pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku mereka diperoleh secara mantap dan lebih mendalam, dan akhirnya perilaku yang mereka peroleh akan lebih mantap juga, bahkan merupakan referensi perilaku orang lain. Sudah tentu cara ini akan memakan waktu yang lebih lama dari cara kedua tersebut, dan jauh lebih baik dari cara yang pertama.

Read more »