Pendidikan Anak di Usia Dini

Pendidikan anak di usia dini memiliki beberapa bentuk yaitu, PAUD formal yang terdiri dari Playgroup (PG) dan Taman Kanak-kanak (TK) serta Raudhatul Athfal (RA). Kemudian PAUD non formal yang terdiri dari Kelompok Bermain (KB), Taman Pendidikan Anak (TPA) dan sebagainya tergantung bagaimana kebijakan yang diambil oleh sebuah lembaga atau yayasan PAUD yang bersangkutan. Dan yang ketiga ialah PAUD informal yaitu keluarga sendiri. Pendidikan anak usia dini (PAUD) atau early childhood education (ECE) adalah pendekatan pedagogis dalam penyelenggaraan pendidikan anak yang dimulai dari saat periode kelahiran hingga usia enam tahun. Aspek sosial, emosional, kognitif, bahasa dan pendidikan jasmani tidak dipelajari secara terpisah oleh anak yang masih sangat muda. Orang dewasa yang sudah lebih dulu dapat menolong diri sendiri akan membantu seorang anak dalam masa perkembangannya dan diharapkan memberikan perhatian yang lebih kepada anak yang memerlukan bantuan. 

Sementara menurut Undang-undang RI no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I ayat 14, pendidikan anak usia dini adalah “Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 

Tujuan pembelajaran pendidikan anak usia dini ialah menawarkan kepada anak-anak usia di bawah enam tahun kesempatan bagi pertumbuhan akademis, intelektual, sosial, emosional, dan fisik melalui program yang terencana dengan baik dari kegiatan dan pengalaman. (Santi,2009:12-14) 

Tujuan mendapatkan pendidikan di pendidikan anak usia dini yang utama adalah: 
  1. Menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar mampu menolong diri sendiri (self help), yaitu mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri seperti mampu merawat dan menjaga kondisi fisiknya, mampu mengendalikan emosinya dan mampu membangun hubungan dengan orang lain. 
  2. Meletakkan dasar-dasar tentang bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn). Hal ini sesuai dengan perkembangan paradigma baru dunia pendidikan melalui empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together yang dalam implementasinya di lembaga PAUD dilakukan melalui pendekatan learning by playing, belajar yang menyenangkan (joyful learning) serta menumbuh-kembangkan keterampilan hidup (life skills) sederhana sedini mungkin. 

Dasar Pelaksanaan PAUD 
• Undang-Undang Dasar 1945 
• Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

Pasal 26, yaitu Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua dan Keluarga . 
1. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. 
2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 

  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak 
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini 
Fungsionalisme Struktural 
Istilah struktural fungsional dalam teorinya menekankan pada keteraturan (orde). Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling bergantung satu dengan yang lain. Ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Dalam teori ini masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan /struktur dalam sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional yang tidak ada, maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Semua tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Durkheim (dalam Ritzer.2009:80-91) mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu seperti kemiskinan. Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

Semua orangtua pasti menginginkan anak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara baik dan dalam proses yang lancar. YPN Putra Sejahtera mengetahui bahwa orangtua sangat responsive terhadap hasil proses belajar mengajar anak mereka. Sehingga diperlukan kerjasama yang baik antara orangtua dan guru YPN Putra Sejahtera untuk mendidik serta memberikan pengajaran dan pembelajaran yang baik sesuai dengan proses perkembangan anak agar menghasilkan anak yang pintar, berkelakuan baik, memiliki sifat yang jujur dan pemberani serta mengerti akan aturan-aturan yang ada di masyarakat yang harus mereka ikuti. 

Cermin Diri (The Looking Glass Self) 
Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley. Menurut Charles H. Cooley (dalam Damsar 2011:81) teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang-orang lain memandang mereka. Misalnya ada orangtua dan keluarga yang mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang-orang yang berbeda-beda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain. 

Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan fakta-fakta objektif. Misalnya, seorang gadis yang sebenarnya cantik, tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa dia cantik, karena mulai dari awal hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi, melalui tanggapan orang lain, seseorang menentukan apakah dia cantik atau jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan yang lainnya. 

Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri; 

  1. Kita melihat gambaran bagaimana kita tampak bagi mereka di sekeliling kita. Orangtua akan merasa dirinya hebat, berpendidikan dan cerdas apabila mampu memberikan pendidikan sejak usia dini kepada anak . 
  2. Kita melihat gambaran bagaimana seharusnya penilaian orang lain menilai tampilan kita. Dengan pandangan bahwa orangtua yang memberikan PAUD adalah orangtua yang berpendidikan dan cerdas, maka si orangtua tersebut akan membayangkan pandangan orangtua lain terhadapnya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. Misalnya, tetangga, kerabat ataupun orang yang dikenal pasti akan bertanya tentang bagaimana perkembangan anak mereka di PAUD tersebut dan akan menjadi acuan bagi orangtua lain untuk memasukkan anak mereka yang masih usia dini ke PAUD tersebut. Tetapi, pandangan ini belum tentu benar.Sang orangtua mungkin merasa dirinya hebat, berpendidikan dan cerdas, padahal apabila dibandingkan dengan orangtua yang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun jika sang orangtua memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada orangtua yang lebih hebat dari dirinya seperti orangtua yang sudah memberikan PAUD tetapi juga memberikan latihan privat memainkan alat musik kepada anak mereka
  3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut atau bagaimana kita mengembangkan suatu konsep diri (self concept). Dengan adanya penilaian bahwa si orangtua adalah orangtua yang hebat, berpendidikan dan cerdas, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.

0 komentar:

Post a Comment