Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan

Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal, dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman).

Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect) tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect). Urban bisa terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (trickle down effect) dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Dengan perkataan lain dalam ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran (Departemen Pertanian, 2004).
Menurut Rustiadi dan Hadi (2004) Strategi pembangunan wilayah yang pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan disparitas pembangunan wilayah antara lain :
  • Secara nasional dengan membentuk Kementrian Negara Percepatan Pembangunan KTI.
  • Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasankawasan seperti : (1) Kawasan Andalan (Kadal); (2) Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap Propinsi.
  • Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti :  (1) Kawasan Sentra Produksi (KSP);  (2) Pengembangan kawasan perbatasan; (3) Pengembangan kawasan tertinggal; (4) Proyek pengembangan ekonomi lokal.
  • Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti : (1) Perwilayahan komoditas unggulan; (2) Pengembangan sentra industri kecil; (3) Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), dan lainlain.
Program-program diatas sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan pembangunan, khususnya pada menjelang dan awal era reformasi. Pendekatan yang masih terpusat dan
masih menggunakan pendekatan pembangunan yang sama yaitu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat wilayah perkotaan, tidak memberikan dampak yang besar terhadap tujuan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah yang
diidentifikasikan tertinggal.

Menurut, Rustiadi dan Setia (2004) Beberapa hal yang searah antara pendekatan pembangunan agropolitan dengan permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam pembangunan perdesaan saat ini adalah : (1) Mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan; (2) Menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan; dan (3) Menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar
mungkin masyarakat desa itu sendiri.
Pengembangan kawasan agropolitan menekankan kepada hubungan antara kawasan perkotaan secara berjenjang. Beberapa argumen mengemukakan bahwa pengembangan kota-kota dalam skala kecil dan menengah pada beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk desa juga bisa dikembangkan. Jadi sebenarnya. semuanya sangat tergantung pada bagaimana keterkaitannya dengan perekonomian dari kota kecil menengah bisa dikembangkan dan bagaimana keterkaitannya dengan komunitas yang lebih luas bisa diorganisasikan.

Dalam pengembangan agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa – kota kecil – kota menengah – kota besar akan lebih dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Hanya saja keterkaitan ini pun harus diikuti oleh kebijakan pembangunan yang terdensentralisasi, bersifat bottom up dan mampu melakukan empowerment (pemberdayaan) terhadap masyarakat perdesaan untuk mencegah kemungkinan bahwa kehadiran kota kecil menengah tersebut justru akan mempermudah kaum elit dari luar dalam melakukan eksploitasi sumberdaya.

Batas pengembangan kawasan agropolitan yang optimal seperti yang telah disebutkan di atas tidak berlaku untuk seluruh daerah Indonesia. Menurut Rustiadi dan Hadi (2004) Penetapan batas pengembangan kawasan agropolitan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Tingkat kemajuan wilayah; (2) Luas wilayah; (3) Batas wilayah secara fungsional dalam arti melihat ciri agroklimat dan lahan, serta pengusahaan tani yang sama; (4) Kemajuan sumberdaya manusia/ petani. Sebagai contoh untuk wilayah-wilayah kabupaten di pulau Jawa batas pengembangan agropolitan mencakup satu wilayah kecamatan, tetapi di luar Jawa seperti Sulawesi Utara batas wilayah pengembangan agropolitan dapat berbeda.

Kawasan agropolitan yang sudah berkembang dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut :
  • Peran sektor pertanian (sampai ke tingkat agro-processingnya) tetap dominan.
  • Pengaturan pemukiman yang tidak memusat, tetapi tersebar pada skala minimal sehingga dapat dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, ataupun telekomunikasi (sekitar 300 pelanggan setara dengan 300 kepala keluarga). Infrastruktur yang tersedia dapat melayani keperluan masyarakat untuk pengembangan usaha taninya sampai ke aktivitas pengolahannya. Di kawasan agropolitan juga tersedia infrastruktur sosial seperti untuk pendidikan, kesehatan, sampai kepada rekreasi dan olah raga.
  • Aksesibilitas yang baik dengan pengaturan pembangunan jalan sesuai dengan kelas yang dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan kolektor dan jalan arteri primer.
  • Mempunyai produk tata ruang yang telah dilegalkan dengan Peraturan Daerah dan konsistensi para pengelola kawasan, sehingga dapat menahan setiap kemungkinan konversi dan perubahan fungsi lahan yang menyimpang dari peruntukannya (Rustiadi dan Hadi, 2004).
Daftar Bacaan
  • Rukmana, R. 2001. Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Kanisius. Yogyakarta.
  • Samadi, B. 2007. Budidaya Cabai Merah Secara Komersial. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
  • Soekartawi, Soeharjo. A, John L. Dillon, dan J Hardaker, 1986. IlmuUsahatani dan Penelitian untuk
  • Pengembangan Petani kecil. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
  • Suhardjo, 1986. Pangan Gizi dan Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia.
  • Supranto, 1995. Ekonometrika. FEUI. Jakarta.

0 komentar:

Post a Comment