Pengembangan Wilayah Usahatani

Pengembangan Wilayah Usahatani : Wilayah bukan merupakan suatu wilayah tunggal dan tertutup, tetapi merupakan suatu kesatuan wilayah yang berinteraksi antara suatu wilayah dengan wilayah lain. Pembangunan wilayah yang ideal adalah terjadinya interaksi wilayah yang sinergis dan saling memperkuat, sehingga nilai tambah yang diperoleh dari adanya interaksi tersebut dapat terbagi secara adil dan proporsional sesuai dengan peran dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing-masing wilayah (Departemen Pertanian, 2004).
 
Suatu wilayah akan berkembang dengan berhubungan dengan wilayah lain. Untuk itu aksebilitas suatu wilayah sangat menentukan kecepatan perkembangan wilayah tersebut. Ketimpangan pembangunan antar wilayah secara alamiah terjadi dapat disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu :
  1. Aspek kepemilikan sumberdaya alam yang berbeda, dimana salah satu wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding wilayah lain.
  2. Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan posisi geografis dibanding wilayah lain.
Sedang ketimpangan juga bisa terjadi bukan karena faktor penentu alamiah di atas, tetapi oleh perbedaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan
sangat mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih baik akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memiliki SDM dan SDS yang kurang baik (Departemen Pertanian, 2004).

Permasalahan pembangunan wilayah akan muncul apabila wilayah yang kaya akan sumberdaya alam mengalami ketertinggalan pembangunan akibat sumber daya manusia dan sumber daya sosial yang lemah. Dalam konteks global hal ini telah terjadi berabad-abad yang lalu dimana bangsa imprealis yang mengalami kemajuan lebih hingga saat ini menjajah bangsa bangsa lain di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Bangsa-bangsa terjajah tersebut hingga saat ini sebagian besar walau sudah mengalami kemerdekaan tetap jauh tertinggal dibanding negara-negara penjajah tersebut (negara-negara utara). Negara-negara terjajah yang kemudian disebut negara-negara sedang berkembang (negara selatan-selatan) memiliki sumberdaya alam yang melimpah, namun sejak abad petengahan mengalami kemunduran dan ketertinggalan dalam kualitas SDM (Suwandi, 2005).


Daftar Bacaan
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
Buletin. 1977. Vitamin C. Merck Service Buletin. Merck and Co. Inc. New Jersey.
Bunasor. 1997. Penelahan Usahatani dan Usaha-Usaha Pengembangan Program Bantuan dan Reboisasi. Bogor.
Purwati. 1994. Pengaruh Pelapisan Lilin pada Tomat. FP. UKSW.
Departemen Pertanian, 2004. Profil Kawasan Agropolitan Mengenal Lebih Dekat
Kawasan Agropolitan. Pusat Pengembangan Kewirausahaan Agribisnis.
Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian.


Defenisi Usahatani

Usahatani : Pembangunan pertanian memiliki arti penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus meningkatkan pendapatan petani baik melalui penerimaan sebagian nilai tambah dari proses lanjutan secara
berkesinambungan, penciptaan kesempatan kerja yang memadai di pedesaan, maupun peningkatan ekspor non migas (Sutawi, 2002).
Tujuan utama dari pendekatan pembangunan pertanian secara nasional adalah mengelola usahatani dengan maksud untuk mempertinggi penghasilan keluarga petani guna meningkatkan taraf hidupnya baik yang bersifat materiil maupun sosial budaya (Tohir, 1991).

Pembangunan pertanian menuju usahatani yang tangguh dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan usahatani masa depan yang tegar dalam posisinya. Usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi dilapangan pertanian, dimana usahatani yang semata-mata menuju kepada keuntungan terus menerus, dan bersifat komersiil (Bachtiar Kivia, 1980 dalam Hernanto, 1996).

Usahatani sebagai organisasi harus ada yang diorganisasi dan yang mengorganisasi, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin, yang mengorganisasi usahatani adalah faktor-faktor produksi yang dikuasai atau
dapat dikuasai (Hernanto, 1996).
Menurut Soekartawi et al. (1986) dalam proses produksi terdapat biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh hasil yang maksimal.

Biaya produksi itu dapat dikatagorikan sebagai berikut :
(1) Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya yang tidak ada kaitannya dengan jumlah barang yang diproduksi.
Biaya tetap tidak habis digunakan dalam satu masa produksi.
Contohnya : Sewa tanah dan pajak.

(2) Biaya Tidak Tetap (Variabel Cost)
Biaya yang berubah apabila ada sesuatu usahanya berubah. Biaya ini ada apabila ada sesuatu barang yang diproduksi. Contohnya : Biaya Saprodi.

(3) Biaya Total (Total Cost)
Keseluruhan biaya tetap produksi yang diperoleh dari penjumlahan total biaya tetap dan biaya variabel. Biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut :
TB = TBT + TBV
Keterangan :
TB = Total Biaya
TBT = Total Biaya Tetap
TBV = Total Biaya Variabel

Pengeluaran usahatani (Total Farm Expensive) adalah nilai semua masukan yang habis dipakai atau dikeluarkan didalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja petani. Pengeluaran usahatani
mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai.

Menurut Hernanto (1996) Pengeluaran usahatani (farm expenses) adalah semua biaya operasional dengan tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani. Didalam pengeluaran usahatani meliputi jumlah tenaga kerja, pembelian saprodi, pengeluaran lain-lain (selamatan), penyusutan alat. Perhitungan biaya penyusutan dipengaruhi oleh besarnya kemungkinan untuk menentukan nilai modal tetap yang dipergunakan pada awal dari akhir tahun (Hadisapoetro, 1983).

Pendapatan terdiri dari pendapatan kotor dan pendapatan bersih. Menurut Soekartawi et al. (1986) Pendapatan kotor adalah pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode usahatani, yang diperhitungkan dari hasil penjualan dan pertukaran. Sedangkan

Pendapatan bersih usahatani (Net Farm Income) merupakan ukuran keuntungan yang dapat dipakai untuk membandingkan beberapa alternatif usahatani.
Pendapatan dalam usahatani dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
NR = TR – TC
TR = P x Y
TC = TFC + TVC

Keterangan :
NR = Net Revenue (Pendapatan)
TR = Total Revenue (Total Penerimaan)
TC = Total Cost (Total Biaya)
P = Harga Tiap Satuan Produk
Y = Total Produk
TFC = Total Fixed Cost (Total Biaya Tetap)
TVC = Total Variabel Cost (Total Biaya Variabel).

Menurut Bunasor (1997) keberhasilan produksi usahatani pada akhirnya dinilai dari besarnya pendapatan (Net Return) yang diperoleh dari kegiatan usahatani. Pendapatan petani menurut Djuwari (1993) adalah : Total dari hasil penjualan termasuk yang tidak dijual, dikurangi dengan seluruh biaya yang dikeluarkan petani, yang dimaksud disini adalah pengeluaran untuk sewa tanah (tanah milik sendiri dan milik orang lain), pengeluaran yang digunakan untuk membeli sarana produksi, pengeluaran untuk membayar upah tenaga kerja (tenaga kerja keluarga/ tenaga kerja dari luar), dan pengeluaran lain-lain berupa ipeda, iuran air, sewa peralatan dan selamatan. 

Dalam analisis usahatani ada dua pendapatan yaitu :
a. Pendapatan Kotor Usahatani (Gross Farm Income) Pendapatan Usahatani Kotor adalah nilai total dari hasil yang diperoleh dikalikan dengan harga persatuan berat yang berlaku. Penerimaan yang diperoleh berhubungan dengan hasil yang terjual. Semakin banyak hasil yang terjual maka semakin banyak pula
penerimaan yang diperoleh (Mubyarto, 1991).
b. Pendapatan Bersih (Net Farm Income)
Menurut Gujarati (1978) pendapatan usahatani adalah total penerimaan atau total revenue dikurangi total biaya produksi, sehingga merupakan pendapatan bersih. Menurut Soekartawi et al. (1986), keuntungan bersih usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total. Secara sistematis dapat
ditulis sebagai berikut : 
PB = PK – TBP
Keterangan :
PB = Pendapatan Usahatani atau Keuntungan (Rp/ha)
PK = Total Penerimaan (Rp/ha)
TBP = Total Biaya Produksi (Rp/ha)


Daftar Bacaan
Friedmann dan Douglass. 1975. Pengembangan Agropolitan : Menuju Siasat Baru
Perencanaan Regional di Asia. The Seminar on Industrialization Strategies and The Growth Pole Approach to Regional Planning and Development :

The Asian Experince, 4 – 13 November 1975. United Nation Centre for Regional Development, Nagoya, Japan, Terjemahan oleh Program Perencanaan Nasional 1976. Gujarati. 1993. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta.

Hadisapoetra, S. 1983. Biaya dan Pendapatan di Dalam Usahatani. Departemen Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hernanto, F. 1996. Ilmu Usaha Tani, Penebar Swadaya, Jakarta

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI MERAH

Tanaman Cabai : Menurut Rukmana (2001) Tanaman cabai dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Species : Capsicum annuum dan lain-lalin
Dari genus Capsicum, terdapat lebih kurang 20 – 30 spesies cabai, termasuk diantaranya lima spesies yang telah dibudidayakan. Karakteristik lima spesies cabai yang telah dibudidayakan tersebut adalah :
(1) Capsicum annuum (Capsicum annuum var. Annuum), cabai jenis atau spesies ini memiliki tangkai daun panjang; helai daun tunggal berbentuk ovale atau lanceolate, agak kaku, berwarna hijau sampai hijau tua, dengan tepi yang rata. Daun tumbuh pada tunas-tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang utama daun tunggal tersebut tersusun secara spiral. Bunga tumbuh tunggal atau kadang-kadang berkelompok pada setiap ruas. Pada saat anthesis, tangkai bunga umumnya merunduk. Setiap bunga mempunyai lima helai daun bunga dan lima atau enam helai mahkota bunga yang berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu. Bunga cabai mempunyai satu kepala putih (stigma), berbentuk bulat, dengan benang sari yang berjumlah enam buah.
Daging buah umumnya renyah atau kadang-kadang lunak. Biji berwarna kuning muda. Jenis cabai ini bersifat fasciculate, yaitu sifat tanaman yang buku-bukunya memendek dan terdapat 4 – 8 bunga atau buah pada satu ruas. Jenis cabai ini memiliki jumlah kromosom 2n = 24.
(2) Capsicum frutescens, cabai jenis ini mempunyai tangkai daun pendek, helai daun tungal berbentul ovale, pundak lebar, berwarna hijau atau agak cokelat-keunguan dan mengkilat. Bunganya tumbuh tunggal atau kadangkadang bersifat fasciculate. Tangkai bunga tegak saat anthesis, tetapi dengan kuntum bunga yang merunduk. Mahkota bunga berwarna putih kehijauhijauan tanpa bintik kuning pada dasar cuping. Calyx tidak bergelombang dan cuping bunga hampir rata. Daging buah umumnya lunak, dan posisi buah tegak ke atas. Biji berwarna kuning padi. Jumlah kromosom jenis cabai ini adalah 2n = 24.
(3) Capsicum chinens, sifat tanaman cabai jenis ini hampir sama dengan capsicum annuum. Perbedaan hanya terletak pada sifat bunganya saja. 

Bunga Capsicum chinens berjumlah dua atau lebih pada setiap ruas, namun kadang-kadang tunggal, dan bersifat bunga majemuk. Tangkai bunga tegak atau merunduk saat anthesis. Mahkota bunga berwarna putih kehijauan, kadang-kadang berwarna putih susu atau ungu, tanpa bintik kuning pada dasar cuping bunga.

Pada buah matang, posisi calyx biasanya berlekuk. Daging buah renyah. Biji berwarna kuning jerami. Jumlah kromosom cabai jenis ini adalah 2n = 24.
(4) Capsicum baccatum (capsicum baccatum var. Pendulum, cabai jenis ini mempunyai tangkai daun yang panjang. Bunga tumbuh tunggal, tangkai bunga tegak atau merunduk saat anthesis. Mahkota bunga berwarna putih kehijauan, terdapat bintik kuning atau hijau pada dasar cuping bunga.
Pada buah matang, posisi calyx mempunyai lekukan. Daging buah renyah, biji berwarna kuning mengkilat. Jumlah kromosom cabai jenis ini adalah 2n = 24.
(5) Capsicum pubescens, cabai jenis ini mempunyai bunga tunggal, tangkai bunga tegak saat anthesis, tetapi bunga merunduk. Mahkota bunga berwarna ungu, namun ada yang berwarna putih pada ujung cuping, tanpa bintik kungin pada sarr cuping bunga. Pada buah matang, keadaan calyx tidak mepunyai lekukan. Biji berwarna hitam. Cabai jenis ini memiliki jumlah kromosom 2n = 24 (Rukmana, 2001).
Cabai merah (Capsicum annuum, L) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang tergolong tanaman semusim. Tanamannya berbentuk perdu dengan ketinggian antara 70 – 110 cm. Ukuran dan bentuk buah pada umumnya besar dan panjang dengan berat buah bervariasi tergantung varietasnya (Samadi, 2007). Organ-organ tanaman yang penting pada tanaman cabai adalah sebagai berikut :

a Batang
Batang cabai tumbuh tegak berwarna hijau tua dan berkayu. Pada ketinggian batang tertentu akan membentuk percabangan seperti huruf Y. Batangnya berbentuk silindris, berukuran diameter kecil dengan daun lebar
b Daun
Daun cabai berbentuk lonjong yang berukuran panjang 8 – 12 cm, lebar 3 – 5 cm dan dibagian pangkal dan ujung daun meruncing. Panjang tangkai daunnya berkisar 2 – 4 cm yang melekat pada percabangan, sedangkan tulang daunnya berbentuk menyirip.
c Akar
Akar tanaman cabai tumbuh menyebar dalam tanah terutama akar cabang dan akar rambut. Bagian ujung akarnya hanya mampu menembus tanah sampai kedalaman 25 – 30 cm, oleh karena itu penggemburan tanah harus dilakukan sampai kedalaman tersebut agar perkembangan akar lebih sempurna.
d Bunga
Bunga cabai termasuk berkelamin 2, karena pada satu bunga terdapat kepala sari dan kepala putik. Bunga cabai tersusun dari tangkai bunga yang berukuran panjang 1 – 2 cm, kelopak bunga, mahkota bunga dan alat kelamin yang meliputi kepala sari dan kepala putik.
e Buah
Buah cabai jenis hibrida kebanyakan berbentuk memanjang yang berukuran panjang dan lebar sangat bervariasi, tergantung varietasnya. 

Buah cabai biasanya muncul dari percabangan atau ketiak daun dengan posisi buah menggantung. Berat cabai merah bervariasi sekitar 5 – 25 g. Buah cabai oleh masyarakat banyak digunakan sebagai bahan penyedap berbagai masakan, oleh perusahaan sebagai bahan baku industri makanan seperti pada perusahaan mie instan, perusahaan makanan dan perusahaan sambal. Minyak atsiri yang terkandung dalam cabai sangat bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan karena bisa menyembuhkan berbagai penyakit seperti pegal-pegal, sesak nafas, obat kuat untuk kaum adam dan beberapa penyakit lainnya.
Zat capsaicin yang terdapat dalam cabai bisa merangsang burung untuk mengoceh, sehingga buah cabai juga dimanfaatkan sebagai campuran bahan makanan ternak. Dari segi gizi, ternyata buah cabai mengandung nilai
gizi yang cukup tinggi seperti terlihat pada Tabel 2 (Rukmana, 2001).
Tabel 2. Kandungan Gizi Buah Cabai Tiap 100 g 

Cabai mengandung capsaicin yang berfungsi untuk menstimulir detektor panas dalam kelenjar hypothalmus sehingga mengakibatkan perasaan tetap sejuk walaupun di udara yang panas. Penelitian lain menunjukkan bahwa capsaicin dapat menghalangi bahaya pada sel trachea, bronchial, dan bronchoconstriction yang disebabkan oleh asap rokok dan polutan lainnya. Hal ini berarti cabai sangat baik bagi penderita asma dan
hipersensitif udara. Capsaicin juga dipergunakan dalam pembuatan krim obat gosok antirematik maupun dalam bentuk Koyo Cabai. Penggunaan capsaicin di kalangan pecinta burung ocehan konon dapat membantu merangsang burung-burung ocehan lebih aktif mengoceh.

Selain capsaicin, cabai pun mengandung zat mucokinetik. Zat ini dikenal sebagai zat yang mampu mengatur, mengurangi, atau mengeluarkan lendir dari paru-paru. Oleh karena itu, cabai sangat membantu penderita bronchitis, masuk angin, influenza, sinusitus dan asma dalam pengeluaran lendir.

Vitamin adalah zat organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah sedikit, tetapi penting untuk mempertahankan gizi yang normal. Vitamin diperoleh dari makanan yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, sayuran dan buah-buahan. Terdapat 2 golongan vitamin, yaitu yang larut dalam air seperti vitamin C dan vitamin B kompleks; dan yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E dan K (Anonim, 1988).
Vitamin C (asam askorbat) banyak diperlukan dalam metabolisme. Berfungsi dalam proses oksidasi/reduksi intrasel. Vitamin C bersifat mudah larut dalam air, mudah rusak karena pemanasan dan tahan pembekuan.
Dalam bentuk kimia aslinya jika kering vitamin C betul – betul stabil. Jika dalam larutan seperti dalam pangan bahan tersebut paling tidak stabil dibanding dengan zat gizi lain. (Suhardjo, 1986). Sumber vitamin C yang
terbaik adalah jeruk, arbei, semangka, tomat, cabe hijau dan sayur-sayuran berdaun hijau (Martin et al., 1983). Menurut Cantaron dan Benard, Biosintesis vitamin nampak seperti pada Illustrasi 1.

Asam askorbat berfungsi sebagai kofaktor pada reaksi hidroksilasi. Sampai saat ini bentuk koenzim untuk vitamin C belum diketahui. Untuk vitamin B2 (Riboflavin) bentuk koenzimnya adalah flavin mono nukleotida
(Buletin, 1997).
Cabai mengandung zat gizi yang cukup lengkap, juga mengandung zat-zat fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan zat yang dapat menetralisir radikal bebas yang mempercepat proses penuaan dan membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai gangguan penyakit. Selain itu berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan akibat kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai
gizi, perubahan warna dan aroma serta kerusakan fisik lain pada produk pangan (Trubus, 2003).

Vitamin C merupakan antioksidan paling penting yang bekerja dalam cairan ekstraceluler karena vitamin ini mempunyai sifat kelarutan yang tinggi dalam air (Winarno, 1991).
Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan dalam alam. Flavonoid pada cabai dalam bentuk flavonool terutama kuersetin dan myrisetin.
Karotenoid merupakan senyawa tetua penoid yang larut dalam lemak. Pada tumbuhan berfungsi sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesa dan sebagai pigmen pewarna dalam bunga dan buah. Senyawa karotenoid yang berperan dalam cabai adalah Beta-Karoten dan Kapshantin.

Untuk keadaan iklim yang dibutuhkan tanaman cabai, umumnya dapat ditanam di dataran rendah sampai pegunungan + 2.000 m dpl. Temperatur yang baik untuk pertumbuhan antara 24 – 27ºC sedangkan untuk pembentukan buah pada kisaran 16 – 23ºC. Cuaca yang panas dapat mengakibatkan serbuk sari menjadi mandul dan menurunkan pembentukan buah. Suhu siang hari yang tinggi (diatas 32ºC) mungkin menyebabkan transpirasi yang berlebihan yang selanjutnya diikuti dengan keguguran tunas, bunga, buah serta mungkin buah mengalami luka bakar. Suhu tanah secara langsung berkaitan dengan penyerapan unsur hara terutama fosfor dan nitrogen. Penurunan suhu secara mendadak pada saat pembungaan (dibawah 16ºC) dapat juga mengakibatkan kegagalan pembentukan buah atau menghasilkan buah yang partenocarpi (Samadi, 2007).

Pada umumnya tanaman cabai cukup sesuai pada daerah yang mempunyai curah hujan 600 – 1200 mm per tahun. Curah hujan yang berlebihan mempengaruhi pembungaan dan pembuahan dan mungkin juga mendorong pembusukan buah. Sebaliknya bila kekurangan air dapat juga mengakibatkan terjadinya keguguran tunas dan bunga. Cabai besar biasanya diperlakukan sebagai tanaman yang suka terhadap air, sehingga sistem pertanaman yang sangat intensif dan komersial biasanya melibatkan penggunaan irigasi tambahan selama periode kering, namun demikian tanaman cabai tergolong netral terhadap panjang hari.

Selanjutnya dikatakan oleh Samadi, 2007 bahwa dilihat dari keadaan tanah, ternyata tanah yang cocok untuk budidaya pertanian umumnya cocok pula untuk tanaman cabai. Namun yang ideal adalah jenis tanah Andosol, Latosol dan Regusol yang subur, gembur, kaya bahan organik, tidak mudah becek, bebas cacing/ nematoda dan penyakit tular tanah. Kisaran pH tanah yang ideal adalah antara 5,5 – 6,8 karena dibawah atau diatasnya akan menghasilkan produksi yang kurang baik.

Tanaman cabai yang ditanam dari biji yang ditanam dipersemaian dan dipindahkan bila tinggi telah mencapai 8 – 10 cm, dengan jarak tanam 60 – 80 cm antar barisan dan 35 – 45 cm dalam barisan atau 50 – 60 cm X
50 – 60 cm. Buah pertama dipanen pada umur 50 – 80 hari setelah tanam, tergantung pada periode masak dari kultivar, dan pemetikan berlanjut sampai lebih dari 60 hari.

Daftar Bacaan
- Kuncoro, M. 2006. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Penerbit Erlangga. Jakarta.
- Martin, J., F. Mayes, and Rodwell. 1983. Biokimia. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta Indonesia.
- Mubyarto, 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta
- PT. Ichtiar Baru. 1988. Ensiklopedi Indonesia. PT. Ichtiar Baru. Van Hoeve. Jakarta.
- Rustiadi. E dan S. Hadi, 2004. Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan  Pembangunan Berimbang. P4W – IPB danP3PT. Bogor.

Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan

Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal, dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman).

Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect) tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect). Urban bisa terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (trickle down effect) dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Dengan perkataan lain dalam ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran (Departemen Pertanian, 2004).
Menurut Rustiadi dan Hadi (2004) Strategi pembangunan wilayah yang pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan disparitas pembangunan wilayah antara lain :
  • Secara nasional dengan membentuk Kementrian Negara Percepatan Pembangunan KTI.
  • Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasankawasan seperti : (1) Kawasan Andalan (Kadal); (2) Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap Propinsi.
  • Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti :  (1) Kawasan Sentra Produksi (KSP);  (2) Pengembangan kawasan perbatasan; (3) Pengembangan kawasan tertinggal; (4) Proyek pengembangan ekonomi lokal.
  • Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti : (1) Perwilayahan komoditas unggulan; (2) Pengembangan sentra industri kecil; (3) Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), dan lainlain.
Program-program diatas sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan pembangunan, khususnya pada menjelang dan awal era reformasi. Pendekatan yang masih terpusat dan
masih menggunakan pendekatan pembangunan yang sama yaitu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat wilayah perkotaan, tidak memberikan dampak yang besar terhadap tujuan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah yang
diidentifikasikan tertinggal.

Menurut, Rustiadi dan Setia (2004) Beberapa hal yang searah antara pendekatan pembangunan agropolitan dengan permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam pembangunan perdesaan saat ini adalah : (1) Mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan; (2) Menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan; dan (3) Menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar
mungkin masyarakat desa itu sendiri.
Pengembangan kawasan agropolitan menekankan kepada hubungan antara kawasan perkotaan secara berjenjang. Beberapa argumen mengemukakan bahwa pengembangan kota-kota dalam skala kecil dan menengah pada beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk desa juga bisa dikembangkan. Jadi sebenarnya. semuanya sangat tergantung pada bagaimana keterkaitannya dengan perekonomian dari kota kecil menengah bisa dikembangkan dan bagaimana keterkaitannya dengan komunitas yang lebih luas bisa diorganisasikan.

Dalam pengembangan agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa – kota kecil – kota menengah – kota besar akan lebih dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Hanya saja keterkaitan ini pun harus diikuti oleh kebijakan pembangunan yang terdensentralisasi, bersifat bottom up dan mampu melakukan empowerment (pemberdayaan) terhadap masyarakat perdesaan untuk mencegah kemungkinan bahwa kehadiran kota kecil menengah tersebut justru akan mempermudah kaum elit dari luar dalam melakukan eksploitasi sumberdaya.

Batas pengembangan kawasan agropolitan yang optimal seperti yang telah disebutkan di atas tidak berlaku untuk seluruh daerah Indonesia. Menurut Rustiadi dan Hadi (2004) Penetapan batas pengembangan kawasan agropolitan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Tingkat kemajuan wilayah; (2) Luas wilayah; (3) Batas wilayah secara fungsional dalam arti melihat ciri agroklimat dan lahan, serta pengusahaan tani yang sama; (4) Kemajuan sumberdaya manusia/ petani. Sebagai contoh untuk wilayah-wilayah kabupaten di pulau Jawa batas pengembangan agropolitan mencakup satu wilayah kecamatan, tetapi di luar Jawa seperti Sulawesi Utara batas wilayah pengembangan agropolitan dapat berbeda.

Kawasan agropolitan yang sudah berkembang dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut :
  • Peran sektor pertanian (sampai ke tingkat agro-processingnya) tetap dominan.
  • Pengaturan pemukiman yang tidak memusat, tetapi tersebar pada skala minimal sehingga dapat dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, ataupun telekomunikasi (sekitar 300 pelanggan setara dengan 300 kepala keluarga). Infrastruktur yang tersedia dapat melayani keperluan masyarakat untuk pengembangan usaha taninya sampai ke aktivitas pengolahannya. Di kawasan agropolitan juga tersedia infrastruktur sosial seperti untuk pendidikan, kesehatan, sampai kepada rekreasi dan olah raga.
  • Aksesibilitas yang baik dengan pengaturan pembangunan jalan sesuai dengan kelas yang dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan kolektor dan jalan arteri primer.
  • Mempunyai produk tata ruang yang telah dilegalkan dengan Peraturan Daerah dan konsistensi para pengelola kawasan, sehingga dapat menahan setiap kemungkinan konversi dan perubahan fungsi lahan yang menyimpang dari peruntukannya (Rustiadi dan Hadi, 2004).
Daftar Bacaan
  • Rukmana, R. 2001. Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Kanisius. Yogyakarta.
  • Samadi, B. 2007. Budidaya Cabai Merah Secara Komersial. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
  • Soekartawi, Soeharjo. A, John L. Dillon, dan J Hardaker, 1986. IlmuUsahatani dan Penelitian untuk
  • Pengembangan Petani kecil. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
  • Suhardjo, 1986. Pangan Gizi dan Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia.
  • Supranto, 1995. Ekonometrika. FEUI. Jakarta.

Agropolitan merupakan

Agropolitan merupakan kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan agribisnis yang melayani, mendorong dan memacu pembangunan pertanian kawasan dan wilayah-wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa sentra produksi pertanian dan didukung dengan berbagai infrastruktur yang mendukung kegiatan pertanian dan industri pengolahnya.

Pengembangan kawasan agropolitan dirancang untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agrobisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digunakan dan
difasilitasi oleh pemerintah.

Kawasan pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antar kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah produsen sebagai pusat kegiatan pertanian (yang tertinggal). Wilayah desa dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima bahan berlebih, sehingga untuk mengatasi kesenjangan ini perlu adanya strategi pengembangan wilayah agropolitan.

Pembangunan sektor pertanian sekarang adalah sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, dapat memberi dampak-dampak negatif terhadap pembangunan nasional secara keseluruhannya, yaitu terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok antara lain mengenai tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat terjadi secara berulang-ulang.

Akibat kemiskinan dan kurangnya lapangan kerja maka masyarakat desa secara nasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan.
Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan dalam masyarakat kawasan kota yang sudah terlalu padat, sehingga dapat menimbulkan pencemaran, pemukiman kumuh, sanitasi buruk, menurunnya kesehatan yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan.

Dalam Undang-undang No. 24/1992 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa kawasan desa adalah kawasan fungsional dengan ini kegiatan utama desa adalah sektor pertanian. Oleh sebab itu, strategi pembangunan harus mampu menjawab tantangan pembangunan perdesaan.

Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi pemukiman di desa yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk infrastruktur yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah desa dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan khususnya terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Disamping itu juga perlu diberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil menengah di wilayah desa yang bertujuan untuk mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.
Dalam kaitannya dengan proses produksi pangan dan bahan mentah, kawasan produsen adalah konsumen bagi produk sarana produksi pertanian, produk investasi dan jasa produksi dan sekaligus sebagai pemasok bahan mentah untuk industri pengolah atau penghasil produk akhir. Cabang kegiatan ekonomi lain di depan (sektor hilir) dan dibelakangnya (sektor hulu), sektor pertanian produsen seharusnya terikat erat dalam apa yang disebut sebagai sistem agribisnis. Dalam perspektif agribisnis, sektor hulu seharusnya terdiri dari perusahaan jasa penelitian, perusahaan benih dan pemuliaan, industri pakan, mesin pertanian, bahan pengendali hama dan penyakit, industri pupuk, lembaga penyewaan mesin dan alat-alat pertanian, jasa pergudangan, perusahaan bangunan pertanian, asuransi, agen periklanan, mass-media pertanian, serta jasa konsultasi ilmu pertanian.

Melihat keadaan di atas perlu diteliti seberapa jauh peranan agropolitan terhadap analisis usaha tani cabai merah di Kabupaten Magelang.
Periode tahun 2004 sampai 2007 memperlihatkan bahwa produksi tanaman hortikultura khususnya sayuran mencapai produksi 0,47% dan 9,06 ribu ton di tahun 2004 menjadi 9,10 ribu ton di tahun 2005, kemudian
meningkat lagi menjadi 9,53 ribu ton di tahun 2006 (4,69%) dan 9,94 ribu ton (4,34%). Peningkatan angka-angka produksi tersebut menunjukkan bahwa komoditas hortikultura dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan tinggi bagi sektor pertanian (Deptan, 2007).
Cabai merah merupakan salah satu komoditi hortikultura yang sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Di Kabupaten Magelang cabai merah merupakan komoditi unggulan dan harganya mengalami naik turun.
Walaupun harganya mengalami perubahan tetapi permintaan akan cabai semakin meningkat terutama untuk perusahaan-perusahaan makanan.

Daftar Bacaan
Sutawi, 2002. Manajemen Agribisnis. Bayu Medu, UMM Press.
Suwandi, 2005. Agropolitan. PT. Duta Karya Swasta. Jakarta.
Tohir, KA. 1991. Seutas Pengetahuan Usahatani Indonesia. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Trubus. 2003. Menguak Pasar Cabai Paprika. Trubus no. 399. Jakarta.
Winarno, F.G. 1991. Tanaman Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
W. David Downey, Steven P. Erickson, 2004. Manajemen Agribisnis. Penerbit
Erlangga, Jakarta.

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Hak dan Kewajiban atas Kegiatan Penambangan Pasir

Sebagaimana di atur dalam pasal 14 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa terdapat pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaannya, baik yang disusun perencanaannya oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam kegiatan pertambangan, rambu-rambu yang harus diperhatikan adalah kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah.
(Berdasarkan hasil wawancara Tanggal 9 Januari 2013) menurut Haeruddin selaku Kepala Bagian Pembangunan Kecamatan Pattallassang, bahwa lokasi pertambangan pasir di Kecamatan Pattallassang tidak termasuk dalam Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Takalar.
Selain itu, penulis juga mengadakan wawancara pada Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi (Perindag Tamben) Kabupaten Takalar, menurut Andi Jemma selaku Staf Bagian Pertambangan bahwa kegiatan pertambangan pasir yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Kecamatan Pattallassang tersebut telah berlangsung sejak dulu dan turun temurun serta tidak memiliki izin dan para penambang pasir tidak pernah melakukan pengajuan Izin Pertambangan Rakyat. Dinas Perindag Tamben Kabupaten Takalar juga telah melakukan peneguran secara lisan dan melakukan sosialisasi mengenai pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja kepada para penambang pasir akan tetapi para penambang pasir terkesan acuh bahkan tidak mengindahkan teguran dari pemerintah setempat (Wawancara, Rabu 9 Januari 2013).

Keberadaan sektor pertambangan seperti pertambangan pasir, sebagai salah satau sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sangat diperlukan untuk menunjang pembangunan. Menurut Syahril selaku Staf Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Takalar bahwa dari sisi lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksplotasi sumber daya alam lainnya, oleh karena itu sebagai kegiatan pertambangan rakyat, para penambang pasir mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap upaya pemulihan lingkungan untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup (Wawancara, Kamis 10 Januari 2013)
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa para penambang pasir tidak melakukan kegiatan rehabilitasi pasca tambang dan kegiatan reklamasi berupa pemulihan lahan bekas tambang dan mempersiapkan lahan bekas tambang untuk pemanfaatan selanjutnya. Para penambang pasir hanya memasang bambu di bibir sungai sebagai penahan yang dimaksudkan agar tanah untuk menimbun pasir hasil tambang tidak longsor. Mereka tidak mempedulikan dan memperhatikan bagaimana cara mengelola lingkungan hidup yang baik agar usaha pertambangannya tidak mengakibatkan atau meminimalisirkan dampak negatif yang ditimbulkan pada fungsi lingkungan hidup. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja sebab setiap seseorang memiliki kewajiban terhadap lingkungan hidup yang sesuai dengan Pasal 67 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup.

Adapun yang menjadi alasan penyebab masyarakat lokal yang melakukan penambangan pasir kurang memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan adalah:
  • Faktor pendidikan yakni kurangnya pengetahuaan, pemahaman dan tingkat pendidikan yang rendah para penambang pasir terutama di bidang hukum.
  • Faktor ekonomi yakni para penambang pasir rata-rata berpenghasilan minim dan golongan menengah ke bawah, penghasilan yang diperoleh dari menambang pasir relatif minim sehingga mereka beranggapan bahwa usaha yang dilakukan tidak akan berdampak luas terhadap lingkungan sekitar.
Saat ini pemerintah daerah mempunyai hak untuk mengelola sendiri daerah yang mereka kuasai (asas desentralisasi), sistem ini lebih dikenal dengan sebutan otonomi daerah. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa:

“Otonomi daerah adalah hak. wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.
 
Berkenaan dengan ketentuan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dan Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah.

Masalah pengawasan dan pembinaan di bidang pertambangan, secara umum telah menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang penanganannya diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan asas desentralisasi.

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C bahwa setiap usaha pertambangan Bahan Galian Golongan “C” baru dapat dilakukan apabila telah memperoleh Izin Usaha Pertambangan, Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan “C” dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perusahaan daerah, Koperasi, Badan Hukum Swasta, Pertambangan Rakyat, dan Perusahaan dengan modal bersama.
 
Hal ini menunjukkan Pemerintah Kabupaten Takalar telah mengatur dan merencanakan setiap kegiatan pertambangan, yakni sebelum melakukan kegiatan pertambangan harus memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kegiatan penambangan pasir oleh masyarakat lokal di Kecamatan pattallassang di atur dalam Pertambangan Rakyat.

Menurut Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah, bahwa Mineral Bukan Logam dan Batuan dipungut pajak atas setiap pengambilan mineral bukan logam dan batuan serta mengatur mengenai subjek dan objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Dari hasil wawancara dengan 5 orang penambang pasir yang menjadi responden penelitian ini, semuanya mengatakan bahwa tidak memiliki izin dalam melakukan kegiatan usaha pertambangannya dalam hal ini Izin Pertambangan Rakyat karena kendala biaya dan berbagai persyaratan/berkas yang harus dilengkapi saat pengurusan izin tersebut dan setelah itu harus membayar pajak kepada pemerintah setempat, sedangkan hasil dari menambang pasir itu sendiri masih sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa masih lemah dan kurang tegasnya aparat pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam menegakkan dan menjalankan peraturan perundang-undangan yang ada. Pihak pemerintah terkesan melepas begitu saja para penambang pasir dalam melakukan kegiatannya tanpa ada kontrol yang berkesinambungan.

Menurut Ilham Staf Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi Kabupaten Takalar dan Muhammad Haerudddin Kepala Bagian Pembanguan Kecamatan Pattallassang menyatakan bahwa selama ini tidak melakukan tindakan yang tegas serta peringatan/sanksi kepada para penambang pasir tersebut karena faktor ekonomi dan minimnya penghasilan dari penambang pasir (wawancara, Kamis, 10 Januari 2013).

Pemerintah setempat dalam hal ini pemerintah Kabupaten Takalar hendaknya melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.

Mempertimbangkan berbagai peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang Pertambangan, Lingkungan Hidup serta Peraturan Daerah, hak penambangan pasir yang dilakukan oleh masyarakat lokal tetap harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah setempat karena kegiatan pertambangan tersebut telah berlangsung sejak dulu dan terus menerus sehingga tanpa disadari akan menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan hidup di wilayah tersebut, serta memberikan peluang terhadap terjadinya perusakan fungsi lingkungan. Hal ini disesabkan karena pada umumnya para penambang pasir belum mengetahui bagaimana melakukan kegiatan penambangan yang baik dan benar yang penting bagaimana kebutuhan hidup tercukupi.

Penegakan Hukum dalam Kegiatan Pertambangan

1. Perizinan dalam Kegiatan Pertambangan
Di dalam kamus hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai “perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.
Perizinan merupakan instrument hukum lingkungan yang mempunyai fungsi Preventif, yaitu mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. melalui izin, pemerintah dapat menetapkan syarat-syarat lingkungan tertentu yang harus dipenuhi oleh pemilik kegiatan.
 
Sedangkan menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit, yaitu sebagai berikut:
Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum adaministrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga.

Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin.

Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada kenginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang ileh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat ,melakukan pengawasan sekadarnya.

Adapun mengenai tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini, yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut :
  • Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen” aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan)
  • Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan)
  • Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen).
  • Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk).
  • Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, di mana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maka setiap orang atau perusahaan yang melakukan usaha dibidang apa saja wajib memiliki izin dari pihak yang berwenang yaitu pemerintah.
 
Izin lingkungan diatur dalam Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang U No. 32 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Oleh karena izin lingkungan wajib dimiliki oleh setiap perusahaan, maka izin tersebut sifatnya umum dan mutlak. Kewajiban tersebut dilatarbelakangi, karena negara atau pemerintah berkeinginan agar setiap perusahaan untuk bersungguh-sungguh memperhatikan lingkungan hidup supaya dapat dicegah atau diminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan. Perlindungan atau pengelolaan lingkungan hidup tidak dapat hanya dibebankan kepada pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat serta perusahaan.

Pengaturan mewajibkan pengusaha wajib memiliki izin lingkungan karena pemerintah bermaksud serius untuk mengawasi lingkungan hidup dan ingin mewujudkan keadaan lingkungan hidup yang lebih baik dan lebih sehat ke masa depan. Izin lingkungan sebagai syarat utama yang wajib dimiliki perusahaan sebelum perusahaan memperoleh izin-izin lainnya yang diperlukan. Kedudukan izin lingkungan merupakan dasar untuk memperoleh izin usaha perusahaan, bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha atau kegiatan.

Pejabat yang berwenang menerbitkan izin lingkungan adalah menteri. gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkat kewenangannya (Pasal 36 Ayat (4) UU PPLH). Menteri lingkungan hidup untuk tingkat pusat, gubernur untuk tingkat provinsi, sedangkan bupati/wali kota untuk tingkat kabupaten/kota.
 
2. Kebijakan Pemerintah dalam Kegiatan Pertambangan
Kebijakan adalah sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi, hal ini merupakan arah tindakan yang memiliki maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.27
 
Ada beberapa teori tentang kebijakan diantaranya yaitu:28
  1. Menurut Ealau dan Pewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut.
  2. Menurut Titmuss (1974), mendefenisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu.
  3. Menurut Edi Suharto (2008), menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Selain tiga teori diatas kebijakan pun dapat didefenisikan sesuai dengan teori yang mengikutinya, antara lain :
  1. Teori kelembagaan memandang kebijakan sebagai aktifitas kelembagaan dimana struktur dan lembaga pemerintah merupakan pusat kegiatan politik.
  2. Teori kelompok yang memandang kebijakan sebagai keseimbangan kelompok yang tercapai dalam perjuangan kelompok pada suatu saat tertentu. Kebijakan pemerintah dapat juga dipandang sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah.
  3. Teori elit memandang kebijakan pemerintah sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah.
  4. Teori rasional memandang kebijakan sebagai pencapaian tujuan secara efisien melalui sistem pengambilan keputusan yang tetap.
  5. Teori inkremental, kebijakan dipandang sebagai variasi terhadap kebijakan masa lampau atau dengan kata lain kebijakan pemerintah yang ada sekarang ini merupakan kelanjutan pemerintah pada waktu yang lalu yang disertai modifikasi secara bertahap.
  6. Teori permainan memandang kebijakan sebagai pilihan yang rasional dalam situasi-situasi yang saling bersaing.
  7. Teori kebijakan yang lain adalah teori campuran yang merupakan gabungan modal rasional komprehensif dan inkremental.
Dalam bidang usaha pemanfaatan lahan untuk industri pertambangan, aparat pemerintah yang bertugas mengawasi dan membina usaha industri adalah pemerintah daerah sejalan dengan bergulirnya era otonomi daerah, seperti yang tercantum dalam Pasal 14 Huruf (J) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan :

“Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah untuk kabupaten/kota yakni pengendalian lingkungan hidup”

Masalah pengawasan dan pembinaan di bidang usaha industri khususnya usaha penambangan pasir, secara umum telah menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang penanganannya diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan asas desentralisasi.

Selanjutnya kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di atur dalam UUPA, kemudian ditindak lanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik, baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan menteri dan lain-lain.

Tinjauan Umum Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup

1. Hubungan Hukum Pertambangan dengan Hukum Lingkungan
Hukum pertambangan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum lingkungan karena setiap usaha pertambangan, apakah itu berkaitan dengan pertambangan umum maupun pertambangan minyak dan gas bumi diwajibkan untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
 
Pelestarian lingkungan hidup mempunyai konotasi bahwa lingkungan hidup seharusnya dipertahankan sebagaimana keadaannya dalam proses pembangunan. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa pelestarian itu berasal dari kata lestari yang mempunyai makna langgeng, tidak berubah. Apabila kata lestari ini dikaitkan kepada lingkungan, maka berarti bahwa lingkungan itu tidak boleh berubah, tetap dalam keadaan aslinya. Padahal pembangunan berarti perubahan. Membangun adalah merubah sesuatu, untuk mencapai taraf yang lebih baik. Dengan demikian maka yang dilestarikan bukanlah lingkungan an sich. Akan tetapi kemampuan lingkungan. Kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang inilah yang perlu dilestarikan, sehingga setiap perubahan yang diadakan dalam proses pembangunan, selalu diupayakan untuk meniadakan atau mengurangi dampak negatifnya agar keadaan lingkungan menjadi serasi dan seimbang pada tingkatan yang baru. Istilah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang membawa kepada keserasian antara pembangunan dan lingkungan, sehingga kedua pengertian itu yaitu pembangunan dan lingkungan tidak dipertentangkan satu dengan yang lainnya.

Hal ini berarti bahwa lingkungan hidup mengalami proses perubahan, karena dalam proses perubahan ini perlu dijaga agar lingkungan hidup itu tetap mampu menunjang kehidupan normal. Lingkungan hidup yang diartikan luas, yaitu tidak hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya. Dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya sadar dan berencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup, perlu dijaga keserasian antara berbagai aktivitas (usaha) dan semacamnya.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi sebagai berikut:
 
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.
 
Dengan demikian, jelas bahwa penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warga negara guna menuju tatanan masyarakat yang adil dan makmur dengan memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga pemanfaatannya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang. Oleh sebab itulah, pembangunan dengan memanfaatkan sumber daya alam tanpa meninggalkan aspek pelestarian lingkungan hidup tersebut dikatakan sebagai pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Sehubungan dengan hal ini Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/MPR/1993 mengemukakan sebagai berikut:

“dalam pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna lahan, air, serta sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis, serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi…..”
 
Untuk mengendalikan pengelolaan lingkungan, dibentuk suatu badan yang mengawasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan dan porsi kekuasaan institusi pengelola lingkungan. Badan ini disebut dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, disingkat Bapedal. Bapedal menyelenggarakan tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang pengendalian dampak lingkungan yang meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemulihan kualitas lingkungan dalam penyusunan kebijakan teknis dan program pengendalian dampak lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kegiatan yang banyak mempengaruhi pencemaran atau rusaknya lingkungan hidup lebih banyak disebabkan oleh kegiatan-kegiatan industri dan pertambangan. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan perindustrian dan pertambangan yang usahanya berdampak terhadap lingkungan, maka negara melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup mewajibkan setiap kegiatan industri dan pertambangan wajib memiliki izin lingkungan yang dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 35 UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup yang berbunyi:
“Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.”
Dengan izin lingkungan digunakan pemerintah untuk mengontrol perusahaan-perusahaan dalam menjalankan usahanya. Apabila di dalam menjalankan kegiatannya ditemukan pelanggaran izin lingkungan, maka akibatnya pemerintah akanmenjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin lingkungan.
 
Berbicara mengenai implikasi Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, berkaitan dengan penerapan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup di tengah-tengah masyarakat. Misalnya penerapan atau implikasi praktik hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki peran yang sangat strategis terhadap keberadaan makhluk ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Oleh karena itu, manusia sebagai subjek lingkungan hidup memiliki pula peran yang sangat penting atas kelangsungan lingkungan hidup.

Hak-hak seseorang terhadap lingkungan hidup diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang. No. 32 Tahun 2009, sebagai berikut:
  • Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
  • Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  • Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
  • Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
  • Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Adapun kewajiban-kewajiban seseorang terhadap lingkungan hidup dalam Pasal 67 Undang-Undang. No. 32 Tahun 2009 adalah :
a. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
b. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
1) memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
2) menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
3) menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
 
Dalam Pasal 36 Ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) disebutkan bahwa perusahaan yang wajib memiliki izin lingkungan jika kegiatan/usahanya diwajibkan memiliki AMDAL (Analis Mengenai Dampak Lingkungan). Adapun perusahaan yang wajib memiliki AMDAL adalah perusahaan yang usaha atau kegiatannya yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Dengan memiliki AMDAL digunakan perusahaan untuk mengurus penerbitan izin lingkungan.
Untuk dapat mengatakan bahwa suatu usaha perusahaan berdampak, maka ukuran-ukurannya ditentukan oleh Pasal 22 Ayat (2) UU PPLH, sebagai berikut:
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan,
b. Luas wilayah penyebaran dampak berlangsung
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak
e. Sifat kumulatif dampak
f. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak, dan/atau
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
 
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah suatu studi tentang beberapa masalah yang berkaitan dengan rencana kegiatan yang diusulkan. Dalam hal ini studi yang dilakukan meliputi kemungkinan terjadinya berbagai macam perubahan, baik perubahan social-ekonomi maupun perubahan biofisik lingkungan sebagai akibat adanya kegiatan yang diusulkan tersebut.

Selain daripada itu, AMDAL dapat juga diartikan sebagai suatu hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan pengambilan suatu keputusan. Oleh karena itu AMDAL bertujuan untuk menduga atau memperkirakan dampak yang mungkin timbul sebagai akibat suatu kegiatan atau proyek pembangunan yang direncanakan.
Hal penting yang harus diketahui sebelum melakukan AMDAL adalah rencana kegiatan yang ada serta keadaan lingkungan sebelum ada kegiatan. Keadaan lingkungan sebelum ada kegiatan harus diketahui terlebih dahulu sebagai patokan atau sebagai garis besar untuk mengukur pencemaran yang terjadi. Kalau rencana kegiatan tidak diketahui, begitupula garis dasar lingkungan. Kalaupun terjadi suatu dampak, dampak tersebut hendaknya bersifat positif. Artinya, kegiatan tersebut memberikan peningkatan kualitas hidup masyarakat disekitarnya.

Semua data yang diberikan dalam AMDAL akan sangat membantu manakala terjadi pencemaran dampak lingkungan. Melalui AMDAL akan diketahui penyebab pencemaran, siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran lingkungan (bila ada) dan bagainama cara penaggulangannya.

Tinjauan Umum Penggunaan Tanah untuk Kepentingan Usaha Pertambangan

Untuk dapat melakukan usaha pertambangan sudah pasti dibutuhkan sebidang tanah karena kegiatan penambangan tidak lain adalah melakukan penggalian tanah. Keberadaan tambang kebanyakan letaknya berada di dalam perut bumi. Sebuah perusahaan pertambangan untuk dapat melakukan penambangan harus memiliki izin dari pemerintah lebih dahulu.

Dengan izin yang dimilikinya perusahaan pertambangan tidak dapat langsung melakukan penambangan sesuai lokasi yang ditunjuk dalam izin bersangkutan, akan tetapi perlu melihat dahulu di lokasi penambangan, apakah di lokasi tersebut terdapat hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain. Apabila ada hak-hak atas tanah maka tidak mungkin kegiatan penambangan dapat dilakukan begitu saja, diberikan pemerintah dibandingkan dengan hak penambangan.

1. Prinsip Hukum Agraria

Sebidang tanah merupakan bagian dari bumi yang letaknya berada pada bidang hukum agraria. Hukum agraria ruang lingkupnya sangat luas karena objek yang diatur adalah mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Bumi, air dan ruang angkasa, berasal dari karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai kekayaan nasional yang mempunyai fungsi sangat penting yaitu untuk membangun kemakmuran masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan itu dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut merupakan landasan konstitusional bagi penguasaan negara atas agraria. Dikatakan penguasaannya berada pada negara, karena dari segi kedudukannya negara adalah sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan dari hak menguasai oleh negara untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, maka setidak-tidaknya perlu ada larangan–larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:16
  • Apabila dengan itikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat, maka kenyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaaan rakyat di tanah-tanah tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus mendapat hak didahulukan daripada occupant baru yang menyalahgunakan formalitas-formalitas hukum yang berlaku.
  • Tanah yang dikuasai negara tapi telah dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik (ter goeder trouw) hanya dapat dicabut atau diasingkan dari mereka, semata-mata untuk kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial dan atau kepentingan negara.
  • Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan konkret yang diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik, harus dijamin tidak akan menurunkan status atau kualitas hidup mereka karena hubungan mereka dengan tanah tersebut
Berdasarkan uraian diatas, maka semestinya makna dikuasai oleh negara mengandung arti sebagai berikut :
  • Hak (negara) itu harus dilihat dari asas domain yang memberi wewenang kepada negara untuk melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan asas kepunyaan menurut adat istiadat. Hak kepunyaan didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka.
  • Hak menguasai oleh negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan yaitu demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak terdahulu kepada rakyat yang telah secara nyata dan dengan itikad baik memanfaatkan tanah.17
Hak menguasai dari negara kemudian diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai peraturan pelaksanaan di mana Pasal 2 Ayat (2) memberi wewenang kepada negara untuk :
  • Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
  • Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
  • Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sejalan dengan itu mengenai yang menyangkut tanah, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang penguasaan Tanah-tanah Negara, menegaskan bahwa hak penguasaan berisikan:
a. Merencanakan, peruntukan, penggunaan tanah tersebut
b. Menggunakan tanah tersebut untuk pelaksanaan tugasnya
c. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.

Dikuasai oleh negara tidak sama dengan yang dimiliki oleh negara, kesepakatan ini bertalian dengan atau suatu bentuk reaksi dari sistem atau konsep domain yang dipergunakan pada masa Kolonial Hindia Belanda. Konsep atau lebih dikenal dengan “asas domain” mengandung pengertian kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu mempunyai segala wewenang melakukan tindakan bersifat kepemilikan (eigensdaad).

Sehubungan dengan hak menguasai oleh negara tersebut orang atau rakyat tidak bebas untuk menggunakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang angkasa. Bagi orang yang membutuhkan wajib meminta izin kepada negara/pemerintah. Pada prinsipnya pemerintah akan memberikan izin-izin tersebut sepanjang persyaratan-persyaratan atau prosedur yang ditetapkan telah dipenuhi.

2. Hak atas Pertambangan
Persoalan penambangan juga tidak dapat dilepaskan dari masalah agraria, karena sebagai mana pernah disinggung, kegiatan pertambangan berada di dalam bumi (tanah) dan untuk melaksanakan kegiatan tersebut wajib mendapat izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
Adapun mengenai hak-hak pertambangan, setelah seorang pengusaha memperoleh izin lingkungan, baru diberikan izin di bidang pertambangan yang berupa IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) yang merupakan hak-hak atas pertambangan.

3. Hubungan antara hukum pertambangan dengan Hukum Agraria
Hukum pertambangan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum agraria. Ini erat kaitannya dengan pemanfaatan tanah untuk kepentingan pertambangan. Bagi perorangan maupun badan hukum yang akan melakukan penambangan pada wilayah pertambangan, yang harus diketahui lebih awal adalah mengenai status hukum tanah yang akan tanah yang akan digunakan itu berstatus tanah hak milik,  hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan atau tanah negara.

Apabila tanah yang akan digunakan itu berstatus tanah hak milik, perusahaan pertambangan itu harus memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik tanah. Ganti rugi itu tidak hanya terhadap tanah-tanah yang bersangkutan, tetapi juga terhadap benda-benda yang ada di atasnya, seperti tanaman, bangunan dan lain-lain. Begitu juga apabila tanah yang digunakan berstatus sebagai tanah negara, perusahaan/perorangan harus mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar dapat diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU). Permohonan hak guna bangunan erat kaitannya dengan pemanfaatan tanah untuk kepentingan mendirikan bangunan perkantoran pada lokasi itu. Begitu juga pemberian hak guna usaha, yaitu pemberian hak untuk mengusahakan tanah negara untuk kepentingan usaha pertambangan, yang meliputi usaha eksploitasi dan eksplorasi.

Pengertian Hukum Pertambangan

Pengertian Hukum Pertambangan dari bahasa Inggris, yaitu mining law. Menurut Ensoklopedia Indonesia, Hukum pertambangan adalah :
“hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih – bijih dan mineral – mineral dalam tanah” 
Salim HS mengatakan bahwa hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah yang mengatur kewenangan Negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara dengan Negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang)”.
 
Kewenangan negara merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada negara untuk mengurus, mengatur dan mengawasi pengelolaan bahan galian sehingga di dalam pengusahaan dan pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan negara ini dilakukan pemerintah. Penguasaan bahan galian tidak hanya menjadi monopoli pemerintah semata, tetapi juga diberikan hak kepada orang dan/atau badan hukum untuk mengusahakan bahan galian sehingga hubungan hukum antara negara dengan orang atau badan hukum harus diatur sedemikian rupa agar mereka dapat mengusahakan bahan galian secara optimal. Agar orang atau badan hukum dapat mengusahakan bahan galian secara optimal, pemerintah/pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) memberikan izin kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan batu bara kepada orang atau badan hukum tersebut.

Dari uraian di atas, ada tiga unsur yang tercantum dalam definisi tersebut, yaitu adanya kaidah hukum, adanya kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian, dan adanya hubungan hukum antara negara dengan orang dan/atau badan hukum dalam pengusahaan bahan galian.

2. Asas-asas Hukum Pertambangan
Asas-asas yang berlaku dalam penambangan mineral dan batu bara telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 ada 4 (empat) macam, yaitu:6
a. Manfaat, Keadilan, dan Kesinambungan
Yang dimaksud dengan asas manfaat dalam pertambangan adalah asas yang menunjukkan bahwa dalam melakukan penambangan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Kemudian asas keadilan adalah dalam melakukan penambangan harus mampu memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga negara tanpa ada yang dikecualikan.
Sedangkan asas keseimbangan adalah dalam melakukan kegiatan penambangan wajib memperhatikan bidang-bidang lain terutama yang berkaitan langsung dengan dampaknya.
 
b. Keberpihakan kepada Kepentingan Negara
Asas ini mengatakan bahwa di dalam melakukan kegiatan penambangan berorientasi kepada kepentingan negara. Walaupun di dalam melakukan usaha pertambangan dengan menggunakan modal asing, tenaga asing, maupun perencanaan asing, tetapi kegiatan dan hasilnya hanya untuk kepentingan nasional.
 
c. Partisipatif, Transparansi, dan Akuntabilitas
Asas partisipasif adalah asas yang menghendaki bahwa dalam melakukan kegiatan pertambangan dibutuhkan peran serta masyarakat untuk penyusunan kebijakan, pengelolaan, pemantauan, dan pengawasan terhadap pelaksanaannya.

Asas transparansi adalah keterbukaan dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan diharapkan masyarakat luas dapat memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur. Sebaliknya masyarakat dapat memberikan bahan masukan kepada pemerintah.
Asas akuntabilitas adalah kegiatan pertambangan dilakukan dengan cara-cara yang benar sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada negara dan masyarakat.

d. Berkelanjutan dan Berwawasan lingkungan
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batu bara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.

3. Aspek Hukum Pertambangan Rakyat
a. Pengertian
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang dimaksud dengan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
 
Usaha pertambangan merupakan usaha untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemurnian, dan penjualan. Bahan galian strategis merupakan bahan galian untuk kepentingan pertahanan keamanan serta perekonomian negara. Bahan galian vital merupakan bahan galian yang dapat menjamin hajat hidup orang banyak. Bahan galian vital ini disebut juga golongan bahan galian B, bahan galian yang tidak termasuk golongan strategis dan vital, yaitu bahan galian yang lazim disebut dengan galian C. Dilakukan oleh rakyat, maksudnya bahwa usaha pertambangan itu dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di area pertambangan rakyat. Sementara itu, tujuan kegiatan pertambangan rakyat adalah untuk meningkatkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Usaha pertambangan rakyat itu diusahakan secara sederhana. Maksud usaha sederhana adalah bahwa usaha pertambangan itu dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang bersahaja. Jadi, tidak menggunakan teknologi canggih, sebagaimana halnya dengan perusahaan pertambangan yang mempunyai modal yang besar dan menggunakan teknologi canggih.

Dapat dikemukakan unsur-unsur pertambangan rakyat, yakni meliputi: 
a) Usaha pertambangan
b) Bahan galian yang diusahakan meliputi bahan galian strategis, vital, dan galian C
c) Dilakukan oleh rakyat
d) Domisili di area tambang rakyat
e) Untuk penghidupan sehari-hari
f) Diusahakan sederhana

b. Kewenangan Memberikan IPR
Sesuai dengan namanya IPR maka pejabat yang berwenang memberikan izin tersebut adalah Bupati/Walikota (Pasal 67 UU No. 4 Tahun 2009). Bupati/Walikota hanya dapat memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik kepada perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
Pelaksanaan kewenangan tersebut dapat dilimpahkan bupati/walikota kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum administrasi negara yang mengenal delegering atau pelimpahan wewenang pejabat atasan kepada pejabat bawahan. Oleh karena camat bertindak atas nama bupati/walikota untuk memberikan IPR kepada penduduk setempat. Untuk dapat memperoleh IPR tersebut, maka prosedurnya pemohon wajib menyampaikan surat permohonan yang ditujukan kepada bupati/walikota. Meskipun sudah ada pendelegasian wewenang kepada camat, namun permohonan IPR tetap ditulis kepada bupati/walikota setempat.
 
Di dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1969, telah ditentukan prosedur dan syarat-syarat untuk mengajukan permintaan izin pertambangan rakyat. Untuk mendapatkan izin pertambangan rakyat, maka yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada bupati/walikota dengan menyampaikan keterangan mengenai:
a. Wilayah yang akan diusahakan;
b. Jenis bahan galian yang akan diusahakan.

Persyaratan yang tercantum dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI Nomor 75 Tahun 2001 sangat sederhana, persyaratan seperti itu juga dapat dipenuhi oleh masyarakat setempat. Dalam permohonan penambang, rakyat cukup menyampaikan kepada bupati/walikota tentang wilayah yang akan diusahakan dan jenis bahan galian yang akan ditambang. Bahan galian yang akan ditambang meliputi bahan galian strategis, vital, dan bahan galian C.

c. Luas Wilayah Pemberian IPR
Adapun mengenai luas wilayah untuk pemberian IPR, ketentuan pasal 68 (1) UU No. 4 Tahun 2009 menyebutkan, bahwa luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
a. Perseorangan paling banyak 1 (satu) ha,
b. Kelompok masyarakat pling banyak 5 (lima) ha, dan/atau
c. Koperasi paling banyak 10 (sepuluh)

IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk jangka waktu yang sama.

a. Hak Pemegang IPR
Pemegang IPR sesuai pasal 69 UU No. 4 Tahun 2009 mempunyai hak-hak sebagai berikut:
1) Mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

2) Mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Kewajiban pemegang IPR
Selain hak-hak di atas, pemegang IPR mempunyai kewajiban-kewajiban berdasarkan Pasal 60, yaitu :
1) Melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan,
2) Mematuhi peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan mematuhi standar yang berlaku,
3) Mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah,
4) Membayar iuran tetap dan iuran produksi, dan
5) Menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR.
 
Selain kewajiban-kewajiban tersebut, pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat juga wajib menaatii ketentuan persyaratan teknis pertambangan. Jadi selain wajib mengikuti aturan hukum, pemegang IPR wajib mengikuti aturan teknis pertambangan.
 
d. Pembinaan dan Pengamanan
Dalam melaksanakan usaha pertambangan, pemerintah tidak hanya memberikan izin saja, akan tetapi juga wajib melakukan pembinaan kepada yang diberi IPR. Untuk itu pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat, bangsa dan negara.
Disamping itu Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja
b. Pengelolaan lingkungan hidup dan
c. Pasca tambang

Untuk melaksanakan pengamanan teknis pertambangan, pemerintah kabupaten/kota diwajibkan mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu pelaksanaan di lapangan pemerintah kabupaten/kota kemudian membuat peraturan daerah (perda).9
Pengertian Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Prinsip pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) diatur di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 adalah satu IUP hanya diperbolehkan hanya untuk satu jenis tambang. Satu IUP diberikan untuk satu jenis mineral atau batu bara. Pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis tambang.

Dapat pula dilihat hak dan kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan dibawah ini:
a. Hak Pemegang Izin Usaha Pertambangan:
  1. Memasuki wilayah izin Usaha Pertambanagan (IUP) sesuai dengan Peta dan Daftar Koordinat
  2. Melaksanakan kegiatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (konstruksi, produksi, pengangkutan dan penjualan serta pengolahan dan pemurnian) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan.
  3. Membangun fasilitas penunjang kegiatan IUP operasi produksi (konstruksi, produksi, pengangkutan danpenjualan serta pengolahan dan pemurnian) di dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
  4. Dapat mengajukan permohonan sewaktu-waktu menghentikan kegiatan operasi produksi disetiap bagian atau beberapa bagian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan alasan bahwa kelanjutan dari kegiatan produksi tersebut tidak layak atau praktis secara komersial maupun karena keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan dalam WIUP
  5. Mengajukan permohonan pengusahaan mineral lain yang bukan merupakan Asosiasi Mineral Utama yang diketemukan dalam WIUP
  6. Mengajukan pernyataan tidak berminat terhadap pengusahaan mineral lain yang bukan merupakan Asosiasi Mineral Utama yang diketemukan dalam WIUP
  7. Memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk keperluan kegiatan IUP Operasi Industri setelah memnuhi ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
b. Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan:
  1. Memilih yurisdiksi pada Pengadilan Negeri tempat dimana lokasi WIUP berada
  2. Mendirikan kantor perwakilan dilokasi tempat dimana WIUP berada
  3. Melaporkan rencana investasi
  4. Menyampaikan rencana pasca tambang
  5. Menempatkan jaminan penutupan tambang (sesuai umur tambang)
  6. Menyampaikan RAKB selambat-lambatnya yang meliputi Rencana Tahun depan dan realisasi kegiatan setiap tahun berjalan kepada Bupati dengan tembusan kepada Menteri dan Gubernur
  7. Menyampaikan laporan Triwulan yang harus diserahkan dalam jangka waktu 30 hari
  8. Apabila ketentuan batas waktu penyampaian RAKB dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka (5) dan (6) tersebut diatas terlampaui, maka kepada pemegang IUP akan diberikan peringatan tertulis
  9. Menyampaikan perencanaan dan pengembangan dan perdagangan masyarakat sekitar wilayah pertambangan sebagai bagaian dari RAKB Bupati Takalar
  10. Memenuhi ketentuan perpajakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangan-Undangan
  11. Membayar iuran tetap setiap tahun sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
  12. Menyusun dokumen reklamasi dan dokumen pasca tambang berdasarkan pada dokumen studi kelayakan sesuai dengan Perundang-Undangan
  13. Menyusun dokumen rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat
  14. Menempatkan data jaminan reklamasin dan pasca tambang sesuai Perundang-Undangan
  15. Mengangakat seorang Kepala Teknik Tambang yang bertanggungjawab atas kegiatan IUP operasi produksi ((konstruksi, produksi, pengangkutan dan penjualan serta pengolahan dan pemurnian), keselamatan, kesehatan kerja pertambangab serta pengelolaan lingkungan pertambangan
  16. Menerapkan kaidah perambangan yang baik
  17. Mengelola keuangan sesuai dengan system akuntansi Indonesia
  18. Melaporkan pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat secara berkala
  19. Melaporkan dan menjaga fungsi dan daya dukung Sumber Daya Alam yang bersangkutan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
  20. Mengutamakan Pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan
  21. Mengikut sertakan seoptimal pengusaha local yang ada di daerah tersebut
  22. Mengutamakan penggunaan perusahaan jasa pertambangan lokal/Negeri. Serta menyampaikan data dan pelaksanaan penggunaan usaha jasa penunjang secara berkala/sewaktu-waktu apabila diperukan
  23. Memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah yang terganggu akibat kegiatan IUP eksplorasi
  24. Kedalaman penambangan 4 meter untuk pencetakan empang dan kemiringan lereng harus sesuai dengan dokumen UKL dan UPL yang telah disetujui oleh Lingkungan Hidup dan Penanaman Modan Kabupaten Takalar.

Contoh Bab I Pendahuluan Skripsi Program Studi GEOFISIKA JURUSAN FISIKA

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tanah, atau secara lebih luas, lahan merupakan substansi alam (biosfer) yang sangat fundamental bagi kehidupan manusia, karena menyediakan dan menjadi wadah berbagai sumber daya alam lainnya. Dalam perjalanan peradaban, lahan selalu menjadi fokus perhatian pembangunan wilayah dalam hal upaya inventarisasi kekayaan, peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan populasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup. Pada ruang biosfer ini, jumlah populasi manusia terus bertambah, kebutuhan akan lahan terus meningkat, sementara di sisi lain, ketersediaan lahan dalam bentuk luasan tetap, dan bahkan terus menurun karena semakin terbatasnya lahan berkualitas yang layak untuk berproduksi optimal (Baja, 2012).
Kabupaten Pinrang memiliki luas wilayah 196.177 Ha yang didominasi oleh areal persawahan pada dataran rendah, perbukitan, bahkan di daerah pegunungan. Kondisi alamnya menjadikan Kabupaten Pinrang sebagai daerah pertanian yang potensial, sehingga perekonomiannya banyak bertumpu di sektor pertanian (pada tahun 2010 mencapai 55,32 %). Kabupaten Pinrang juga memiliki kawasan hutan seluas 72.831 Ha pada tahun 2010, yang terbagi atas hutan lindung dan hutan produksi terbatas (46.782 Ha dan 26.049 Ha) (BAPPEDA & PM Kab. Pinrang, 2011). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 123.346 Ha lahan otensial untuk kawasan budidaya di Kabupaten Pinrang. Agar keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan perlindungan lingkungan dalam skala wilayah dapat tercapai, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah adanya perencanaan tata guna lahan, khususnya di sektor pertanian.

Evaluasi sumber daya lahan merupakan dasar perencanaan tata guna lahan untuk pembangunan berkelanjutan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis, evaluasi sumber daya lahan dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Proses yang cepat dengan tampilan yang interaktif akan lebih memudahkan dalam pengambilan kebijakan untuk perencanaan tata guna lahan, khususnya di sektor pertanian. Disamping itu, untuk memenuhi keinginan dari beberapa investor yang biasanya menginginkan data kondisi lahan dan karakteristik tanaman yang cepat dan akurat, maka perlu diciptakan sebuah sistem informasi tentang kesesuaian lahan berdasarkan data kondisi (karakteristik) sumber daya lahan yang dimiliki Kabupaten Pinrang.

I.2 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitan ini dibatasi pada evaluasi kesesuaian lahan pertanian untuk tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan dengan menggunakan analisis spasial (GIS) dan sistem pencocokan (matching) antara kriteria persyaratan tumbuh tanaman dengan data karakteristik lahan di Kecamatan Lembang, Batu Lappa dan Duampanua, Kabupaten Pinrang. Selanjutnya hasilnya akan disajikan dalam aplikasi “Sistem Informasi Lahan” yang dibuat dengan bahasa pemrograman visual Basic .NET dan pustaka Dotspatial untuk menampilkan peta secara interaktif, serta menggunakan Delphi untuk penanganan basis datanya.

I.3 Tujuan :
Adapun tujuan penelitian ini ada dua, antara lain :
  1. Menganalisis kesesuaian lahan pertanian untuk komoditas tertentu dengan memadukan data karakteristik lahan dengan kriteria persyaratan tumbuh tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan di Kecamatan Lembang, Batu Lappa dan Duampanua, Kabupaten Pinrang.
  2. Menghasilkan aplikasi “Sistem Informasi Lahan” (SIL) yang interaktif, berbasiskan teknologi Sistem Informasi Geografis dengan bahasa pemrograman Visual Basic .NET, Delphi dan pustaka Dotspatial.

Contoh BAB III Metodologi Skripsi GEOFISIKA JURUSAN FISIKA

III.1 Lokasi Penelitian
Secara administratif, daerah penelitian terletak pada tiga wilayah kecamatan yakni Lembang, Batu Lappa dan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan secara geografis terletak antara koordinat 119°26'30" - 119°47'5,43" Bujur Timur dan 3°19'13" - 3°43'53,38" Lintang Selatan.
 
 
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
 
III.2 Alat dan Bahan/Data
Alat yang digunakan sebagai sarana pencapaian tujuan penelitian adalah satu unit komputer/notebook dengan spesifikasi minimal processor Intel Dual Core, RAM 2 GB dan menggunakan perangkat lunak (software) yaitu :
- Software GIS untuk melakukan proses analisis spasial dan layout peta.
- Software Microsoft Visual Basic Express 2010 dan Borland Delphi 7 untuk melakukan pemrograman “Sistem Informasi Lahan”.
- Pustaka/library Dotspatial untuk menampilkan data-data geospasial pada program yang dibuat.
- Microsoft Windows (minimal XP) dengan .NET Framework 4 (untuk mendukung penggunaan pustaka Dotspatial).

Adapun data yang digunakan pada penelitian ini antara lain:
- Peta Intensitas Curah Hujan Kabupaten Pinrang
- Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Pinrang
- Peta Elevasi Kabupaten Pinrang
- Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Pinrang
- Peta Sistem Lahan Kabupaten Pinrang
- Peta Kawasan Hutan Kabupaten Pinrang
- Data karakteristik tanah di tiga kecamatan Kabupaten Pinrang (drainase, tekstur lapisan atas dan bawah, kandungan nitrogen, kelimpahan batuan, C Organik, KTK, pH tanah lapisan atas dan bawah, salinitas, bulk density,  kedalaman tanah, KAT, distribusi kandungan kalium dapat tukar tanah, serta konduktivitas hidrolik).

III.3 Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yakni :
1. Persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal yang meliputi pengumpulan data dan penyiapan alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian.

2. Analisis Spasial
Analisis spasial yang dilakukan pada tahap ini yaitu overlay (tumpang susun) peta-peta dasar (curah hujan, penggunaan lahan, lereng, elevasi, sistem lahan dan kawasan hutan) menghasilkan Satuan Peta Tanah (SPT). SPT kemudian dipadukan dengan data sekunder hasil survei karakteristik tanah menghasilkan Peta Unit Evaluasi Lahan.

3. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Peta Unit Evaluasi Lahan yang telah dihasilkan selanjutnya dicocokkan (matching) dengan kriteria persyaratan tumbuh tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan yang mengacu pada kriteria kesesuaian lahan FAO dan PUSLITBANG SDA (2011). Pada proses ini dibutuhkan aplikasi “Matching” yang dibuat dengan software Borland Delphi 7 untuk memudahkan dalam proses klasifikasi kesesuaian lahan pertanian. Dari proses tersebut akan dihasilkan Peta Kesesuaian Lahan untuk tanaman pangan (padi sawah, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar dan ubi kayu), hortikultura (tomat, cabai, bawang merah, bawang putih, bawang prei, labu, semangka, kentang, wortel, jeruk, durian, langsat, rambutan, mangga, nenas, alvokat, manggis dan nangka) dan perkebunan (kakao, kopi robusta, kopi arabika, kelapa, kelapa sawit, cengkeh, aren, kemiri, vanili dan lada).

4. Desain dan Pemrograman “Sistem Informasi Lahan” (SIL).
Pada tahap ini dilakukan desain tampilan dan pemrograman aplikasi SIL menggunakan software Microsoft Visual Basic Express 2010, Dotspatial dan Borland Delphi 7. Software Microsoft Visual Basic Express 2010 dan Dotspatial digunakan untuk membuat desain antar muka (IDE) aplikasi yang menampilkan berbagai peta dasar, peta hasil analisis kesesuaian lahan dan informasi lahan terpilih secara interaktif. Kemudian digunakan software Borland Delphi 7 untuk membuat aplikasi tambahan dengan kemampuan mengakses database (*.dbf). Aplikasi tambahan ini memungkinkan pengguna (user) untuk mengetahui luas kesesuaian lahan serta potensi keuntungan bagi petani berdasarkan biaya usaha tani yang dikeluarkan, luas lahan dan kelas kesesuaian lahan.

 Gambar 3.2 Bagan Alir Penelitian Analisis Kebijakan Optimalisasi Potensi Sumber Daya Lahan Berbasis Sistem Informasi Geografis